Mendaki Merbabu: Cantikmu Cukup Sekali Untukku
Agustus 19, 2019
(Lanjutan dari bagian sebelumnya...)
Malam itu, seperti biasa, saya ngga bisa tidur dengan nyenyak. Udah dingin, di dalem tenda dempet-dempetan, apalagi saya juga takut gelap dan agak-agak klaustofobia ya. Temen di sebelah ngigau-ngigau juga ngga jelas. Belum lagi kalau di luar tenda ada yang teriak-teriak tengah malem. Aduh, udah deh. Cuma bisa berharap pagi segera datang.
And here where the story continues...
Minggu, 4 Agustus 2019
Malam itu, seperti biasa, saya ngga bisa tidur dengan nyenyak. Udah dingin, di dalem tenda dempet-dempetan, apalagi saya juga takut gelap dan agak-agak klaustofobia ya. Temen di sebelah ngigau-ngigau juga ngga jelas. Belum lagi kalau di luar tenda ada yang teriak-teriak tengah malem. Aduh, udah deh. Cuma bisa berharap pagi segera datang.
And here where the story continues...
Minggu, 4 Agustus 2019
Pukul 03.00, kami dibangunin sama Bang Gonoy untuk memulai summit attack
alias pendakian ke puncak. Di situ, drama pun masih saja terjadi. Tiga teman
saya sempat melontarkan keengganannya untuk muncak. Ada yang capek lah, ada
yang ngga bawa sarung tangan lah, ada yang bilang "puncak bukan
tujuan" lah. Kayaknya cuman saya aja deh yang niat, wkk.. But gays,
kita udah jauh-jauh sampai titik itu lho. Puncak udah tinggal sedikit lagi. Dan
karena saya ngga mau balik lagi ke Merbabu (like, forever) let us finish this
sh*t and go home. Biar tuntas dan lunas semua perjalanan ini.
Akhirnya, setelah saling bujuk-membujuk, kami berempat pun jadi summit
attack semua. Praise Lord!
Perjalanan menuju puncak gemilang cahaya, kalo dibilang berat, ya, lumayan
berat. Tapi ngga seberat Rinjani atau Semeru, menurut saya sih. Meskipun ya
teteup saya jalannya paling belakang. Tapi jarak ke puncak itu ngga jauh-jauh
banget dari tempat nge-camp. Masalah utamanya memang masih pada debu dan
pijakannya ya. Apalagi masih gelap, jadi harus ekstra hati-hati saat melangkah.
Dari Sabana 1, kita akan melewati satu bukit yang cukup tinggi, lalu sampai
di Sabana 2. Di sini areanya cukup luas dan banyak juga pendaki yang nge-camp
di sini. Dan dari Sabana 2, jalur akan menanjak terus sampai ke puncak.
Perjalanan ini memakan waktu sekitar 2 jam, or more. Kayaknya lebih deh. But
anyway, take a look at your surrounding karena pemandangannya, baik saat gelap
maupun menjelang fajar itu bagus banget!
Kami disambut dengan matahari terbit dan pemandangan puncak Merbabu yang
luar biasa cantiknya. Alhamdulillah, syukur aku sembahkan ke hadiratmu Tuhan.
Dan kalau diinget-inget, ini pertama kalinya selama mendaki, saya bisa
sampai di puncak sebelum matahari terbit! Hehe.. Biasanya mataharinya
udah naik, baru saya sampai puncak. Tapi di Merbabu ini, saya bisa menyaksikan
sunrise dengan sempurna. Thank God!
Puas menikmati puncak Merbabu, kami pun kembali ke tenda di Sabana 1.
Perjalanan turun ternyata tak kalah menyusahkan dari perjalanan naik ya. Malah
kayaknya lebih berat deh. Lagi-lagi karena jalannya yang licin dan berdebu,
ditambah kalau jalan turun kan katanya beban tumpuan jadi lebih berat ya.
Pokoknya entah sudah berapa kali saya kepereset. Tapi paling kesel banget,
kalau ada pendaki yang turun sambil lari-larian! Udah debunya kemana-mana,
jalurnya jadi tambah rusak kan gara-gara pijakannya ancur. Sampai dalam hati ku
berkata "Mandar kepereset terus tibo (mudah-mudahan kepeleset terus
jatuh). Dan aku akan tertawa paling keras." Jahat ya.
Anyway, setelah balik ke tenda, terus sarapan, dan bongkar tenda. Kami pun
melanjutkan perjalanan turun ke basecamp. Dan bagian paling berat menurut saya
lagi-lagi adalah jalur Pos 3 ke Sabana 1. Yang tadinya saya namai
"tanjakan setan", kali ini saya namai "turunan iblis".
Karena memang ternyata perjalanan turun di jalur ini lebih berat daripada saat
naik.
Ada banyak percabangan jalur yang bisa dipilih, dan semua dengan
konsekuensi masing-masing. Ada yang mungkin terlihat lebih cepat tapi jalannya
terjal banget, ada yang agak landai tapi jalannya licin banget, atau kita mau
pilih jalan zig-zag biar merasakan semuanya. I dont know. Pilih aja yang
menurut hati kalian paling bener dan aman.
Our way down |
Ada satu momen di jalur itu yang bener-bener bikin takut, sampai mau
nangis. Like, literally, setakut itu sampai mau nangis beneran!
Jadi ada satu jalan tikungan gitu, yang lebarnya mungkin cuma dua tapak
kaki. Pokoknya cuma muat satu orang. Entah gimana saya bisa ended up di jalan
itu, padahal jalannya licin banget dan saya aja jalannya sambil ngesot. Di
depan saya, tepat sebelum tikungan itu, ada turunan yang cukup terjal, yang
kalau saya terusin ngesot kemungkinan besar merosotnya bakalan bablas sampe
jauh. Sementara, di pinggir tikungan itu cuma "dibatasi" kayak
gundukan pasir yang niscaya ancur kalau saya pakai buat nahan. Dan di sebelah
tikungan itu adalah ... jurang. Yes, jurang. Gimana saya ngga mau nangis coba.
Di situ saya duduk sambil gemeteran, ya Allah. Mau lanjut ngesot, apa
berdiri, apa cari jalan lain. Tapi mau gerak aja susah, soalnya pasir-pasirnya
udah pada berlengseran. Ditambah lagi, berat tas yang bikin badan ini serasa
didorong maju. Geser dikit, rasanya udah kayak mau njelungup ke depan.
Dan di tengah ketakutan itu, tiba-tiba keingetan lah sama orang tua, sama
keluarga, sama dosa-dosa. Gimana kalau saya balik tinggal nama doang?
Naudzubillah.
Setelah ada kali 20 menit terduduk di situ, datanglah seorang bapak-bapak
penyelamat hidupku. Beliau kayak ranger gitu sih, or at least pokoknya keliatan
sering naik gunung. Akhirnya beliau membantu saya, menuntun saya, sampai ke
area tanah yang aman. Alhamdulillah. He was a Godsend pokoknya.
So ya, sore hari itu, kami berempat sampai di basecamp kembali dengan
selamat. Alhamdulillah. Tapi jujur, waktu sampai bawah itu, saya sempet kesel
banget sih sama pendakian ini. Bukan karena jalurnya atau apa, tapi lebih
gara-gara... kotor banget! Ya ampun. Semuka-muka, kuku, rambut, baju-baju, tas,
kaos kaki, sendal, udah ketutupan debu yang kuantitasnya belum pernah saya
rasakan sebelumnya. I'll never going back to this mountain ever again. At
least, for now.
But anyway. Di luar itu semua, pendakian Merbabu ini merupakan sebuah
pengalaman yang memorable ya. Ke-gila-an jalurnya saya rasa sebanding dengan
apa yang bisa kita saksikan dan dapatkan dari gunung ini. Worth untuk didaki
lah. Tapi kalau saya sekarang ditanya, "Mau balik lagi?" atau
"Mau mendaki lagi?" Saya akan jawab, "No, thank you".
Tapi... ngga tau kalau tahun depan ya. :D
Sekian. Terima Kasih~
Ada yang
pernah ke Merbabu juga? Share your story below ya...
Bang @gonoy_ta & @theater_adventure, for the trip
YOU, for reading this! :)
1 comments
Rara Travel & Tour | Travel Jember
BalasHapusTips & Trik : Travel
Info : Travel Jember Surabaya