Pergi ke Banyuwangi Bersama Ayah [Edisi Anak SD]
Juni 24, 2014
Haalo teman-temaan. Hari ini, aku mau
berbagi cerita waktu aku berjalan-jalan bersama Ayah tercinta ke rumah saudara
di Banyuwangi. Wah, aku sangat bahagia bisa berjalan-jalan bersama Ayah.
Apalagi, waktu itu pertama kalinya aku mengunjungi saudaraku yang ada di
Banyuwangi. Dibaca sampai habis ya ceritaku ini. Pliiis. Nanti aku sedih kalau
kalian nggak baca sampai habis. Oke?
Jadi sebulan lalu (udah lama banget ya) aku seperti biasa nganggur di
rumah. Mengerjakan pekerjaan dan kegiatan yang tidak terlalu penting dan tidak
signifikan untuk masa depanku. Saat itu, ayahku juga sedang tidak bekerja
karena tau kan, pabrik tempat ayahku kerja sedang tidak beroperasi. Kasian ya
kita. Nggak punya duit. Nah, daripada kita sama-sama lumutan di rumah, kita
berencana untuk pergi mengunjungi Budhe Yatik yang rumahnya ada di Banyuwangi.
Aku sendiri belum pernah lho ke rumah De Yatik ini. Biasanya, De Yatik yang
datang ke rumah nenekku, di Jember, waktu Hari Raya Idul Fitri. Jadi kita ngumpulnya
di rumah nenek. Makanya, aku sangat bahagia ketika Ayah mengajakku ke
Banyuwangi. Yeeeeey.
Kita berangkat ke Banyuwangi hari Kamis, tanggal 15 Mei 2014, sekitar pukul
6 pagi. Kita ke sananya naik motor dari rumah (Leces, Probolinggo). Agak ribet
ya naik motornya karena kita bawa oleh-oleh buat De Yatik lumayan banyak. Ada
kerupuk mentah, ada bandeng presto, terus jajan-jajannya buat ponakan-ponakan,
pokonya penuh deh. Waktu itu, kita berencana untuk mampir di rumah nenek di
Jember, karena mereka pasti sedih kalau tau aku lewat Jember tapi nggak mampir.
Sekitar pukul 8 kita udah nyampe di Jember. Alhamdulillah selamat sampai di
pit stop. Meskipun kita agak sebel karena di jalan tadi ada orang naik mobil
yang buang tissue seenak jidatnya sampe kena helm Ayah. Huh! Kan bahaya ya
teman-teman. Tindakan seperti jangan ditiru ya, karena bisa mengancam
keselamatan pengendara lain yang ada di belakang kalian. Janganlah membuang
sampah sembarangan!
Sesampainya di Jember kita istirahat dulu tuh. Lumayan capek ya, 2 jam di
jalan. Dui rumah nenek, aku sarapan lagi, terus leyeh-leyeh, nonton TV, sama
pipis. Sekitar jam 9 aku dan Ayah melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur, biar
nggak siang-siang sampe Banyuwanginya. Karena Jember-Banyuwangi jaraknya kurang
lebih 2 jam-an juga. Dari Jember, bawaan
kita malah tambah banyak karena nenek titip juga oleh-oleh buat De Yatik. Uh,
tambah berat deh.
Salah satu hal yang membuatku sangat tertarik ke Banyuwangi adalah jalan ke
Banyuwangi itu sendiri. Kata Ayah, kita akan melewati kawasan Gunung Gumitir
yang berkelok-kelok. Waw, aku sangat tidak sabar! Aku sangat suka gunung!
Nah, setelah sekitar satu jam lebih kita berkendara, mulai terlihat tuh
pohon-pohon tinggi berjajar di kanan-kiri jalan. Udaranya juga menjadi semakin
sejuk, dibandingkan saat kita berangkat tadi. Tambalan gigi bolongku juga jadi
ngilu. Ini tandanya kita sudah ada di daerah yang lebih tinggi. Dan benar saja,
sesaat kemudian kita masuk ke kawasan Gunung Gumitir! Yeeeey.
Wuhuu, jalanan di gunung itu sungguh berkelok-kelok. Banyak sekali
mobil-mobil berukuran besar, seperti truck, berjalan lambat karena takut
terguling. Pemandangan di sana juga saaangat indah. Ada tebing-tebing tinggi di
kiri jalan dan jurang-jurang dalam di kanan jalan, Semuanya dihiasi dengan pohon-pohon
rindang yang tinggi menjulang. Sesekali ada daun-daun yang gugur, melayang,
sampai akhirnya jatuh ke tanah, yang semakin menambah syahdunya suasana.
Subhanallah sekali!
Jalanan di Gunung Gumitir
Di satu titik di Gunung Gumitir, kita berhenti sejenak untuk beristirahat sembari
mennikmati pemandangan. Waktu itu, kita berhenti di tepi jurang. Dari sana,
kita bisa melihat pemandangan di kejauhan yang saaaangat indah. Dan tepat di
bawah kaki kita ada terowongan yang digunakan untuk jalur kereta api menuju
Banyuwangi. Suatu saat aku ingin naik kereta api melewati terowongan ini,
karena kata Ayah terowongannya panjaaaang sekali.
Eh, tapi ada satu hal nih teman yang bikin aku kurang nyaman di Gunung
Gumitir ini. Di sepanjang jalan, aku sering melihat orang-orang di pinggir
jalan yang menengadahkan tangan menanti sumbangan pengendara yang lewat. Hmmm...
dan itu banyak banget! Setiap 10 meter ada satu mungkin. Dan mereka nggak cuma
orang dewasa aja. Ada nenek-nenek, sampai anak-anak kecil juga. Kasian ya.
Hayoo, keliatan nggak ada penampakan nenek-nenek?
Nah, selepas dari Gunung Gumitir ini suasana jadi panas lagi deh. Dan
ternyata dari Gunung Gumitir ke De Yatik itu masih juauuh betul. Karena memang
rumahnya ndeso ya, di desa Ngadirejo, Jajag. Akhirnya kita sampe di Ngadirejo
itu sesaat sebelum Dhuhur.
Dari gerbang desa ke rumah De Yatik juga lumayan jauh. Jalanannya masih
banyak rusak. Di kanan kiri banyak lahan pertanian. Waktu itu, sebagian besar
ditanami jeruk, sama ada beberapa buah naga. Di jalan juga banyak anjing-anjing
berkeliaran. Yang mana cukup membuat saya bergidik ngeri. Mungkin karena di sana
banyak yang beragama Hindu kaliya, jadi banyak yang melihara anjing. *cmiiw*
Setelah 20 menitan , akhirnya (lagi) kita sampai di rumah De Yatik.
Alhamdulillah.
Jalanan di depan rumah De Yatik
Wah rumahnya lumayan gede juga ya. Tanahnya lumayan luas. Di depan dan
samping rumah masih cukup buat ditanami pohon buah naga. Di belakang juga masih
ada kebun buat buah naga sama kelapa. Tapi yang amat aku sayangkan adalah air
di sana itu keruh dan berbau tidak sedap. Istilah sana, “banger” gitu. Mirip
banget sama air di kosan saya di Jakarta kemaren. Huff. Jadi males buat mandi.
Rumahnya De Yatik
Satu hal lain yang agak sulit di sana, yaitu musholla/masjid! Karena memang
sebagian besar masyarakat sekitar sana beragama Hindu, jadi agak susah mencari
musholla. Kita perlu naik motor untuk menuju musholla terdekat. Hal inilah yang
sempat membuat kita hampir mengurungkan niat untuk menginap di sana (kita
berencana untuk menginap semalam). Tapi, karena sudah terlanjur bilang ke De
Yatik mau menginap, ya apa boleh buat. Kita jadilah menginap.
Kebetulan, malam harinya di rumah De Yatik ada pengajian bapak-bapak. Waktu
itu malam Jumat juga kan. Nah, ada satu hal nih yang bikin saya agak sebel sama
warga sekitar sana. Jadi waktu itu kebetulan juga di belakang rumah De Yatik
ada warga yang (katanya) sedang mebuat semacam pura. Dan selama seharian itu
sampe malam, mereka memainkan musik kuenceeeng banget. Kayak musik-musik
India/Hindu gitu. Bukannya saya merendahkan/mendiskreditkan agama lain ya, tapi
kan akan lebih baik kalau setidaknya kita toleransi lah antar warga. Ya mbok
dimatikan sebentar pas tetangganya yang muslim ada pengajian. Saya yakin
sebenarnya itu hanya ulah “oknum” sih yang tidak toleran, karena saya yakin
sebenarnya semua umat beragama akan saling menghargai dan menghormati. Malah
katanya, pas Tarawih di Bulan Ramadhan, orang yang sholat nggak boleh pakai
speaker masjid! Ckckckck. Sekali, saya tidak menjelekkan agama apapun di sini.
Keesokan harinya, pagi-pagi aku dan Ayah bersiap kembali ke rumah nenek di
Jember. Oh iya tau nggak teman, waktu Shubuh pagi itu, pulang dari masjid kita
berdua dikejar-kejar sama anjing dong! Ya Tuhan, sumpah itu takutnya setengah
mati! Lha wong kita cuma ngelewati anjing itu aja, sepulang dari sholat Shubuh.
Waktu itu dia lagi tidur di tengah jalan (ngapain coba). Tau deh tuh anjing
siapa. Eh pas kita lewat tiba-tiba dia bangun terus ngejar-ngejar kita
sepanjang jalan. Aku jerit-jerit lah orang mulut anjing itu udah nganga-nganga
mau nyaplok kaki kiriku. Ayah yang ikutan kaget langsung ngegas motornya sampai
akhirnya Ayah kehilangan kendali motor dan kita nyusrup di gundukan pasir.
Untung kita berdua tidak terluka. Dan lebih untung lagi anjing itu tidak
mengejar lagi. Huff. Anjing tuh anjing. Jadi parno deh aku!
Pas mau pulang, aku lihat burungnya saudaraku di kasih makan
Yaudah lah akhirnya kita berangkat ke Jember sekitar pukul 7.00. Sebelum ke
Jember, Ayah masih mampir ke rumah sahabatnya waktu di SMA dulu di daerah
Kalibaru. Lama lagi di sana. Pulangnya masih nyasar pula. Hampir sejam kita
muter-muter di desa tempat tinggalnya temen Ayah itu karena tidak bisa menemukan
jalan keluar. Alhasil, kita Jum’atan di pinggir jalan di daerah Sempolan
(awalnya mau Jum’atan di Jember). Di masjid itu yang ceramah pake bahasa Madura
pula. Aku tidak mengerti sama sekali apa yang pak ustadz itu bicarakan. Kita
sampai di Jember sekitar pukul 13.00 siang. Dan kita kembali ke Leces sekitar
pukul 15.00. Alhamdulillah bisa sampai lagi di rumah dengan selamat.
Hahh, terlepas dari pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan tadi,
aku tetap bahagia bisa berkunjung ke rumah De Yatik di Banyuwangi. Kita juga
dikasih oleh-oleh jeruk banyak banget sampai pegel memangkunya di motor. Mudah-mudahan
suatu saat aku bisa ke sana lagi dan berharap airnya sudah bersih.
Sekian dulu ya ceritaku. Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa lagi di cerita
lainnya. Emmuach!
2 comments
Sip Fer.
BalasHapusAhaha, tambah suwi tulisane tambah geje yo Cah. wkwkwk
Hapus