Bromo Minggu Pagi

November 25, 2015

Minggu pagi kemarin, saya nemenin bapak ngeliat sawahnya di daerah desa Sapikerep, di kaki Gunung Bromo . Kita berangkat sekitar pukul 09.00 naik motor. Cuaca waktu itu lumayan panas. Banget malah. Bahkan pas kita udah nyampe di atas pun masih tetep panas. Setelah sejam-an berkendara kita sampai lah di rumah “bapak” sama “emak”. Sepasang suami istri paruh-baya yang ngerawat sawahnya bapak. Kalo diitung-itung udah hampir setahun sejak terakhir kali kita berdua ke sini. Paling terakhir kayaknya tahun lalu, sebelum bapak saya pergi ngerantau kerja ke Timor Leste.



Ahh, saya selalu menikmati berada di rumah “emak” ini. View dari depan rumahnya itu... dramatis. Begitu keluar rumah kita langsung dihadapin sama tembok tebing-tebing yang berwarna kehijauan. Keliatannya deket, tapi bapak saya cerita dia pernah naik motor ke arah sana, dan itu nggak nyampe-nyampe ke tebingnya. Jadi, semacem apa ya... fatamorgana (?) Dekat di mata jauh di jarak, haha. Entahlah, yang pasti itu bagus banget pemandangannya. Tapi sayang, sekarang ini lagi peralihan dari musim kemarau ke musim hujan jadinya bukit-bukit di sana warnanya kecoklatan, sisa-sisa kekeringan pas kemarau. Tapi tetep gorgeous! J

Lama kita duduk dan bercengkerama di rumah “emak”. Dengan bahasa Jawa orang-orang Tengger yang sangat khas, yang saya kadang agak sulit memahaminya. Karena bahasa Jawanya itu kayak campur sama bahasa-bahasa Ngapak (Tegal). Unik dah. Kalo bapak saya sih paham-paham aja soalnya udah biasa. Tapi dari percakapan itu, saya bisa nangkep intinya. Mereka (bapak, “bapak”, sama “emak”) cerita kalau sekarang ini sawahnya lagi ditanemin wortel. Terus mereka juga cerita kalo sekarang ini lagi memelihara sapi, dan untungnya lumayan. Bapak saya juga mengiyakan. Kita bisa dapet untung dari melihara sapi walau cuma 3 bulan! Ide bisnis yang bagus, wkwkwk...

Satu obrolan lagi yang cukup menyita perhatian saya adalah, “emak” curhat kalo sekarang ini jumlah pekerja di sawah sudah sangat menurun. Orang-orang udah jarang ada yang mau nggarap sawah. Makin lama jumlahnya makin dikit. Ada yang lebih milih buat nggarap sawahnya sendiri ketimbang ngerawat sawah orang lain. Namun, nggak sedikit juga yang memilih jadi pegawe di tempat lain. Pun dengan anak-anak mudanya. “Emak” bilang sekarang ini anak-anak muda di sana udah banyak yang sekolah, ngejar pendidikan sampai tinggi. Udah jarang yang mau jadi petani.


Well, dilema juga sih ya. Di satu sisi, ngejar pendidikan itu baik. Sangat baik. Tapi di sisi lain, kalo nggak ada yang mau jadi petani, terus siapa yang mau nanam makanan kita? Yaa mungkin sekarang banyak yang beranggepan kalau lebih enak jadi pegawe negeri, dapet gaji rutin bulanan, kerja di ruangan ber-AC, dsb. Well, thats true but ... saya pribadi malah suatu saat pegen jadi pengusaha, khususnya di bidang pertanian. And for your info, saya dulu hampir jadi mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Pertanian (THP) Universitas Jember. :P Motivasinya sih sebenernya ngeliat ayah saya sendiri. Beliau belajar pertanian secara otodidak. Belajar dari satu petani ke petani lain. Sampai sekarang dia malah dikira anggota tim penyuluh pertanian, hahha..

Dan bertani itu menurut saya, menarik. Karena kita kerja bergantung pada kemurahan alam. Kemurahan Tuhan. Jadi mau nggak mau kita dipaksa untuk bisa memahami alam. Membaca situasi dan kondisi alam yang senantiasa berubah-ubah. Bahkan lahan yang bersebelahan pun, kadang sifatnya beda, dan otomatis perlu treatment yang berbeda. Belum lagi kalau ada kejadian-kejadian “luar biasa” yang nggak bisa kita kendalikan. Misalnya, gunung meletus. Seperti yang terjadi pada Gunung Bromo di tahun 2010/2011. Waktu itu, pertanian kita semua ... abis! Rusak kena debu. Bapak yang waktu itu lagi tanam bawang rusak semua, padalah waktu itu lahannya nggak di atas gunung. Bisa dibayangin sawahnya orang-orang Tengger. Udah rusak semua.

Tapi yah, satu hal lagi yang suka dari masyakarat suku Tengger ini. Meskipun dilanda bencana erupsi Bromo berkali-kali, mereka nggak mau pindah dari sana. Bahkan, waktu erupsi pun mereka nolak buat di evakuasi. Gunung Bromo udah mereka anggap kayak sahabat, atau lebih tepatnya, leluhur. Mereka sangat paham kalo Bromo itu gunung aktif, jadinya mereka sudah sangat maklum dan lumrah kalau Bromo “batuk-batuk” tiap beberapa tahun. Dan walaupun tani mereka berkali-kali hancur, mereka nggak mengeluh atau marah atau jengkel sama alam. Mereka nerima. Mereka ikhlas. Nanti, pasti akan ada rejeki dari tempat yang lain, atau di waktu yang lain. Saya mengagumi prinsip mereka. Mereka woles and santay, hahha.. :D

Akhirnya sekitar ba’da Dhuhur kami berdua pulang. Masih tetep panas, dan nggak ada tanda-tanda mau hujan. Kita dibawain beberapa sisir pisang sama “emak” & “bapak”. Tapi buat saya, saya udah membawa pulang pelajaran yang lebih manis daripada pisang-pisang tersebut. Hha


Sekian, terima kasih~



Thanks-List:
YOU, for reading this! :)

You Might Also Like

0 comments

Diberdayakan oleh Blogger.