Ijen Revisited: The Hunt for The Blue Fire (2nd Attempt!)
Januari 08, 2017
Happy New Year 2017 fellas!!! J
Semoga di tahun ini kita bisa meraih semua cita-cita yang
kita cita-citakan, semua wishlist
yang udah kita susun bisa terlaksana, dan tak lupa mendapat berkah di semua sendi
kehidupan yang kita jalankan. Amin~
Anyway, tahun baru
kemarin saya tidak ada acara apapun buat merayakannya. Ngga pernah ngerayain
juga sebenernya. Apalagi di tanggal 31 Desember itu, saya disuruh lembur di
kantor dari pukul 19.00—24.00, jagain program Tax Amnesty-nya pemerentah. Which
was such a waste ‘cause nobody came to
our office! Sucks. Jadinya, saya
sama anak-anak ngga ngerti mau ngapain. Naik turun lantai ga jelas. Ngemil. Nonton
tv. Main hape & komputer sampai mata pedes. Tapi yah gimana lagi, namanya dapet
uang lembur tugas negara. Hhe..
Gara-gara piket ini juga saya akhirnya ngga pulang ke
Probolinggo. Hvft. Padahal lagi libur panjang (sampai 2 Januari karna cuti
bersama). Tapi tak apalah. Untuk mengisi liburan, saya sama anak-anak kantor ngerencanain
buat jalan-jalan bareng. Dan kali ini, kita mau ke Kawah Ijen, Banyuwangi. Woohoo...
Ini akan jadi kunjungan kedua saya ke Ijen. Setelah beberapa
waktu lalu, ngga dapat kesempatan untuk melihat blue fire gara-gara kita kesiangan sampai puncak (ceritanya di sini). Mudah-mudahan
kali ini kenginan itu bisa terwujud. Tuk balas dendam! Hhe..
Minggu, 1 Januari 2017. Awalnya kita ada 13 orang yang mau
berangkat. Hmm.. bakalan seru banget pasti rame-rame motoran ke sana. Kaya
sinetron Anak Jalanan. Tapi gara-gara hari itu hujan ngga berhenti-berhenti, dari
siang sampai sore, satu per satu mulai undur diri dari perjalanan ini. Saya
sendiri awalnya juga agak males mau berangkat. Karena yang pertama, semua
peralatan “pergunung”-an saya ada di rumah Probolinggo. Segala baju tebel,
jaket, buff, celana, dan tetek bengek
lainnya. Dan yang kedua, karena males mau hujan-hujanan di jalan. Apalagi kalau
hujannya pas di atas nanti pasti jadi tambah adem. Brrrr...
Tapi gara-gara dikomporin sama anak-anak, ditambah saya mau
mem-“balaskan dendam” saya untuk menyaksikan blue fire, saya akhirnya nekat ikut juga. Kami janjian di kantor
pukul 19.00, tapi akhirnya baru berangkat sekitar pukul 20.30. What can I say, we’re Indonesian, dude.. Dan dari 13 orang yang awalnya mau ikut,
tinggal 8 aja yang berangkat. Jadinya kami bawa 4 motor. And off we go! :D
Kami pergi menuju Ijen melalui jalur Bondowoso. Dan jalur
ini ternyata lebih cepat dibanding yang lewat Banyuwangi. Tanjakannya juga
tidak terlalu curam. Cuman jalannya aja banyak yang rusak jadi harus ekstra
hati-hati. Di sepanjang jalan, kami sesekali dijatuhi gerimis, tapi untungnya
ngga sampai hujan deres.
Kalau melalui jalur Bondowoso ini, sebelum sampai di
Paltuding, kita akan melewati 3 buah pos/portal. Beda dari Banyuwangi yang
hanya ada 1 pos. Dan yang bikin gedeg,
di tiap portal kita disuruh bayar! Heft. Kirain cuman sekali doang pos pertama,
ternyata dua pos berikutnya bayar juga. Kalau ngga salah di pos pertama bayar
Rp20.000, pos kedua Rp10.000, pos ketiga Rp10.000.
Kami sampai di Paltuding sekitar pukul 00.30 dan tempat loket
karcisnya masih belum buka. Kami akhirnya nongki-nongki dulu sambil ngupi-ngupi
di salah satu warung di sana. Si bapak yang punya warung cerita kalau ada
pendaki yang hilang sehari sebelumnya. Wew. Serem juga. Akhirya, sekitar pukul
01.00, loket karcis pun di buka, dan kami pun memulai pendakian.
Overall, di pendakian
kali ini, saya merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Dari segi fisik juga
ternyata saya masih lumayan kuat, hehe... Kami juga cuman beberapa kali
berhenti. Dan istirahatnya juga sebentar-sebentar. Ngga sampai buka lapak, terus
bikin kopi. Alhamdulillah, cuaca juga bersahabat. Lumayan cerah. Kita jadi bisa
menikmati pemandangan bintang-bintang di langit malam. One of my most favorite things to do in this world. Stargazing!
Sekitar dua jam kami berjalan, kami hampir mencapai puncak. Namun,
keadaan mulai memburuk gara-gara asap belerang yang semakin menebal. Pokoknya
parah banget, sampai mata kita perih dan batuk-batuk. Jarak pandang juga jadi
makin memburuk karena pekatnya asap. Sontak, kami dan pendaki-pendaki lain
didatangi oleh para penjaja sewa masker. Maskernya yang hitam ada tabung-tabung
itu.
Mereka pakai segala cara dan bahasa untuk menggoda kami biar
nyewa maskernya. Dan kebetulan, keadaan sekitar—asap belerang yang lagi tebel—juga
sangat mendukung promosi itu. Mereka bilang kalau kita ngga bakal dibolehin ke blue fire kalau ngga pakai masker hitam
itu. Pft. Padahal sebenernya ya ngga ada melarang. Orang blue fire-nya ngga ada yang jaga.
Tapi berhubung asap belerangnya waktu itu bener-bener parah,
jauh lebih parah dari terakhir saya kesana, akhirnya kami mutusin juga buat
sewa maskernya. Per masker dihargai Rp25.000,00. (pertama kali saya ke sana
harganya masih Rp20.000). Dan memang masker hitam itu lebih enak dipakai kalau
pas belerangnya lagi tebal. Bau telor busuknya jadi ngga terlalu tajam. Cuman
masalahnya, mata masih kadang perih. Untuk mengurangi perihnya, kita bisa pakai
tisu yang dibasahi air, terus diusap ke mata. Cara lainnya, dengan berhenti
sejenak membelakangi arah angin. Jadi asapnya ngga langsung kena mata.
Beberapa saat kemudian, kami sampai di percabangan. Kalau
mau liat blue fire, kita bisa ambil
kiri terus turun ke kawah. Kalau mau ke puncak, kita ambil kanan lalu naik. Dua
orang teman saya memutuskan untuk tidak ikut melihat blue fire. Mereka nunggu di pertigaan itu. Jadinya, tinggal
ber-enam aja yang turun.
The blue fire spot is somewhere downthere
Perjalanan turun ke blue
fire ternyata ngga gampang juga. Sebenernya ada kayak tangga-tangga gitu,
cuman karena gelap banget jadi agak susah jalannya. Dan di situlah saya baru
sadar kalau penglihatan malam saya bener-bener buruk! Saya ngga bisa ngeliat
jalan SAMA SEKALI kalau ngga dibantu senter. Saya jadi sering berhenti kalau
ngga dapet pencahayaan dari temen-temen atau dari pendaki lain. So from now on, saya harus bawa senter
sendiri!
Perjalanan menuju lokasi blue
fire memakan waktu sekitar 45 menit. Di pertengahan jalan, kita sudah bisa
melihat dari jauh siluet-siluet kebiruan dari blue fire. Temen saya yang cewek satu-satunya, mutusin buat
berhenti jalan dan nunggu kita di situ. Di dekat kayak jembatan gitu. Sementara
saya dan keempat teman lain meneruskan untuk ke bawah. Dua teman saya yang
paling depan udah jalan jauh. Sementara saya dan dua teman saya mengikuti di
belakang. Dan beberapa menit kemudian, sampailah kami di spot dimana kita bisa melihat dengan jelas blue fire yang terkenal itu.
MashaAllah. Cakep banget dah blue fire-nya! Saya bersyukur bisa diberi kesempatan untuk
menyaksikan salah satu keindahan ciptaan Allah SWT itu.
The magical blue flames
(sorry for the bad quality)
Blue fire di kawah
Ijen sendiri muncul akibat gas belerang yang bereaksi dengan oksigen, lalu
terbakar dengan suhu mencapai 600°Celcius dan bisa menyala hingga 5
meter tingginya. Fakta uniknya, kalau saja gas belerang ini tidak terbakar, dia bisa terakumulasi dan akan jadi berbahaya karena sangat beracun! Saya memutuskan untuk tidak berjalan lebih jauh lagi untuk
mendekati blue fire tersebut. Karena
seringkali asap belerang tebal berhembus
kesana kemari membuat sesek napas dan mata perih. Bisa melihat blue fire dengan
mata kepala sendiri saja saya sudah sangat puas dan bersyukur. Finally, mission accomplished!
Buat ngambil foto aja susahnya minta ampun. Selain
“gangguan” dari asap belerang, keadaan sekitar yang sangat gelap, spesifikasi
kamera, dan kelihaian sang fotografer juga sangat menentukan. Semua faktor ini
tentu tidak saya miliki, jadinya ya saya ngga dapat dokumentasi yang bagus,
wkwkwk.. But anyway, I was so happy with
the experience tho J
We're climbing up
Setelah cukup puas menyaksikan the magical blue fire, kami
memutuskan untuk kembali. Jalan menanjak ternyata bikin ngos-ngosan juga. Namun
untungnya, fajar mulai menyingsing sehingga menerangi setapak jalan yang kami
hendak lalui. Maka, nikmat Tuhan yang mana yang kau ingkari?
Di atas, kami berdelapan akhirnya berkumpul kembali. Asap
belerang masih saja pekat sehingga kami cukup kesulitan untuk mengabadikan
gambar. Setelah beristirahat dan makan bekal, kami mulai berjalan turun.
At the top of Mt. Ijen
On our way down
The smog sometimes were so thick
(courtesy of @irwantris)
Kami sampai di Paltuding lagi sekitar pukul 10.00 atau
11.00. Dan sesampainya di bawah, kami disambut dengan kehebohan. Ternyata, si
pendaki yang dikabarkan hilang sehari sebelumnya sudah ditemukan! (Kabarnya)
dalam keadaan linglung dan tak bercelana. OMG. Dari cerita yang beredar,
katanya si pendaki tersebut terpisah dari rombongannya pas waktu buang air
kecil. Entah ditinggal sama temennya atau gimana. Dan temen-temen si pendaki
itu baru sadar, waktu di parkiran, si pendaki itu ternyata belum turun. Tapi
untunglah, sekarang si pendaki itu sudah bisa berkumpul dengan keluarganya
lagi.
The squad (Left-to-Right): @iqbalmohammadhasan, @irwantris, @sortalidya, @dzakinuz, me, @derilkholid, @miftah.jombang, @i.am_thor
(courtesy of @iqbalmohammadhasan)
Saya dan temen-temen pun melanjutkan perjalanan pulang ke
Jember. Sepanjang jalan, barulah saya bisa melihat pemandangan pepohonan yang
indah yang semalam sama sekali tidak terlihat karena gelap. Namun, sepanjang
perjalanan pulang , kami dihadapkan dengan series
of unlucky events. Di awali dengan saya yang jatuh dari motor, temen saya
yang masuk ke selokan, sampai akhirnya kami diguyur hujan deras sampai Jember.
Wew..
On our way home, we passed this cute little village named Sempol.
Everything is so neat, clean, and the people seems to live a happy simple-life.
Tapi yah, itulah yang menarik dari traveling, kan? Kita ngga pernah tau apa yang akan terjadi di
jalan. The thing is, we just have to
enjoy the ride, and eventually, we will learn something, and be grateful for
anything... J
Thanks-List:
The squad: @iqbalmohammadhasan, @irwantris, @sortalidya, @dzakinuz, @derilkholid,
@miftah.jombang, @i.am_thor, for the great experience
YOU, for reading this! :)
0 comments