Lima Hari di Barat Indonesia [Ep. 02]: Wandering Weh Island

Juli 01, 2017

Sabtu, 12 Mei 2017. Kami mengawali hari kedua di Sabang dengan penuh pengharapan: semoga hari itu kami diberi keberuntungan dengan cuaca yang baik. Amin~



Sekitar pukul 06.00, kami bergegas meluncur ke Pantai Sumur Tiga untuk berburu sunrise. Lokasinya cuman beberapa meter dari penginapan. Namun, lagi-lagi kami kurang beruntung. Pagi itu langitnya dipenuhi awan (sisa-sisa mendung). Alhasil, kami tidak mendapat sunrise yang sempurna.  Hanya semburat kekuningan di langit biru-kelabu, di balik awan-awan yang berarak. Hmm... Sedikit kecewa, tapi lagi-lagi apa daya. Toh, masih ada hal lain yang bisa dinikmatin. Salah satunya adalah... pantainya!

Where's my sunrise?



Sumur Tiga Beach

Pantai Sumur Tiga ini keren banget sih menurut saya. Pasirnya putih bersih dan minim sekali sampah. Belum lagi lautnya dengan gradasi warna biru-tosca yang emh.. begitu memanjakan setiap mata yang memandang. Saya sama mba Riris cukup lama keliling di pantai ini (red: saya jadi fotografer si ibuk eksis ini). Kami ngeliat-liat juga penginapan Casanemo (yang saya ceritain sebelumnya), sama penginapan Freddies (sambil meratapi nasib). Tapi ada yang lucu juga sih. Kami kan nyoba masuk ke restorannya si Freddies. Niatnya mau beli sarapan, tapi sama si mas-mas penjaganya kami disuruh langsung makan aja, gratis. Padahal udah bilang kalau kami bukan tamunya Freddies. Tapi akhirnya, kami ngga jadi sarapan di situ gegara sungkan, hehe.. Tapi lumayan lah bisa ketemu si om Freddie Rousseau (yang punya penginepan). Btw, kalau ada yang mau tanya-tanya soal Freddies, langsung email aja ke si om-nya. Dibalesnya cepet lho.. J


Lelaki itu ternyata temennya mba Riris

Casanemo

Freddies

Akhirnya, kami cari sarapan di kota Sabang. Pengennya cari makanan khas sana. Salah satunya, Mie Jalak. Tapi sesudah muter-muter ngelewatin rute yang sama dan ngga ketemu juga (padahal di maps ada), alhasil kami makan aja di salah satu warteg di deretan pertokoan/pasar-nya Sabang. Lelah. Tapi alhamdulillah kenyang.

Waktu menunjukkan pukul 10.00, kami bergegas balik ke Rade Inn. Kemudian bersih-bersih, packing, check-out, dan melanjutkan perjalanan. Tujuan kami selanjutnya adalah daerah Iboih (baca: Iboh). Kalau di peta, tempat itu ada di sebelah barat-laut Pulau Weh. Perjalanan kami kesana memakan waktu (karena masih mampir-mampir), hampir dua jam lah. Tapi percaya deh, kita ngga bakal bosen sebab kita akan dimanjakan dengan pemandangan landscape Pulau Weh yang super byutiful!

Off we go

Pertama, kami mampir dulu di taman “I Love Sabang”. Salah satu spot foto yang hits di sana. Tapi, letaknya agak berlawanan sama jalan ke Iboih. Harus ngantri juga, soalnya banyak wisatawan yang lagi foto. Puas cekrak-cekrek, dan berhubung cuaca makin panas (alhamdulillah siang itu langitnya cerah), kami pun melanjutkan perjalanan.



At Taman I Love Sabang

Beberapa menit berkendara, kami berhenti lagi di salah satu spot yang punya pemandangan super ciamik. Namanya Cot Klah. Klah sendiri adalah nama sebuah pulau kecil, tak jauh dari kota Sabang, sementara Cot dalam bahasa Aceh berarti bukit/tanah tinggi (*cmiiw). Jadi secara etimologi, Cot Klah, (mungkin) berarti bukit untuk menyaksikan Pulau Klah. :D Anyway, pokonya tempatnya bagus banget! Harus mampir kalo pas mau ke Iboih.




Cot Klah

Lanjut, kami memacu motor kembali menuju Iboih. Punggung saya rasanya udah remek dan bokong terasa makin tepos. Ternyata jarak ke Iboih masih agak jauh. Naik, turun, dan banyak tikungan tajam. Sekitar pukul 12.00/13.00, barulah kami sampai di lokasi. Pemberhentian kami adalah Bixio Homestay, tempat kami nginep di malam kedua. Kami booking kamarnya lewat Airbnb, dengan harga Rp200.000-an/malam. Begitu masuk halaman, kami disambut sama mas-mas bule yang lagi asyik main sama istri & anaknya (sepertinya). Kami lalu ketemuan sama kaka Eva, si empunya homestay, dan langsung dianterin ke bungalow kami (beda bungalow ya saya sama mba Riris, secara di sana semuanya berprinsip syariah). Btw kaka Eva ini asik banget dah orangnya. Gahoel bets, dengan cara ngomongnya yang campur English (dan bahasa lain, ngga ngerti apa). Tapi sayangnya kami ngga banyak ngobrol sebab saya sama mba Riris lebih banyak di luar homestay.

My bungalow at Bixio

Tapi nih gaes, yang jadi highlight utama di Bixio ini adalah... pemandangan pantainya!

Homestay kami berhadapan langsung sama pantai yang view-nya.. masyaAllah subhanallah... bagus banget! Saya ngga tau nama pantainya apa, tapi masih segaris sama pantai di Desa Iboih.

The beach

Pantai dan lautnya itu layaknya foto kalender yang udah di-photoshop sama editor handal. Warna lautnya cantik banget gradasinya. Dihiasi pasir pantai yang putih bersih, dengan pepohonan hijau di tepinya. Ditambah langit yang hari itu alhamdulillah sedang cerah.





 Piece of heaven

Hmm.. Saya selalu punya motto dalam bepergian: “I wish my eyes were cameras”. Karena sekeren-kerennya kamera buatan manusia, ngga akan bisa menyamain “kamera” ciptaan Tuhan—yang mana adalah mata kita sendiri. So, temen-temen harus dateng langsung kesana buat menyaksikan sendiri keindahan pantai tersebut~

Kudu kesini!

Puas menikmati pemandangan “sekeping surga” itu, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya, yaitu Pulau Rubiah. Pertama-tama, kita harus pergi dulu ke Pantai Iboih (atau dikenal juga dengan Teupin Layeu) di Desa Iboih. Begitu sampai sana, kita akan langsung ditawari dengan berbagai penyewaan kapal dan alat snorkeling. Tinggal milih aja.

Iboih

Kami waktu itu kenalan sama bang Fahmi, salah satu penyewa kapal. Dia nawarin sewa kapal ke Rubiah PP Rp100.000, alat snorkeling lengkap Rp40.000, sama guide lokal Rp150.000. Totalnya jadi Rp330.000 (alat snorkeling-nya berdua), tapi setelah ditawar, jadinya Rp300.000 aja. Dan durasi sewanya terserah kita lho! Mau sampe Maghrib pun ngga masalah. Dan setelah deal, kami pun berangkat menuju Pulau Rubiah, bareng guide lokal kami yang ternyata masih bocah, hehe.. Duh ya ampun saya lupa namanya, pokoknya dia masih SMA.

On our way to Rubiah with our guide

Penyeberangan ke Rubiah lumayan cepet. Cuman 10-15 menitan. Begitu mendarat, kami langsung ganti pakaian dan memasang semua peralatan snorkeling. I’m sooo excited! Sebab dari foto-foto yang saya liat di internet, taman bawah laut Rubiah ini bagus banget. Dan ternyata... itu 100% benar!

underwater pic TBA

Pemandangan underwater-nya keren bets! Padahal kami berenang ngga jauh dari pantainya lho (ngga sampe tengah). Ada banyak karang berbagai bentuk, dengan ratusan ikan berbagai jenis yang warna-warni. Asik banget dah.

underwater pic TBA

Drama pun terjadi saat kami nyoba-nyoba buat foto underwater. Kalo saya sih, emang dasarnya ngga bisa renang ya, jadinya modal nekat aja. Kirain mba Riris lebih jago renangnya, tapi ternyata sama aja rempongnya! Saya jadi kesian sama si adek guide yang bersusah-payah ngebantuin kami buat foto-foto, wkwk.. Maap ya dek, semoga semua kebaikanmu dibalas oleh Allah SWT.  

underwater pic TBA

Cukup lama kami snorkeling, sampai akhirnya langit mulai mendung dan akhirnya... hujan! *sigh Tapi kami  tetep berenang-renang sampai akhirnya ngga kuat kedinginan. Sembari nunggu hujan reda, kami ngemil-ngemil mie rebus dulu di warung dekat dermaga. Dan dari hasil ngobrol-ngobrol sama adek guide dan penjaga warung, di Pulau Rubiah itu katanya ngga ada penduduknya lho. Jadi kalau malem, warung-warung di sana pada tutup dan pemiliknya kembali ke Iboih. Emang sih, “background Pulau Rubiah itu masih kayak hutan-hutan lebat gitu. Masih alami banget. Kadang juga katanya ada kadal gede yang suka “nyolong” ikan si pemilik warung. Wew.

At the Rubiah gate

Sekitar pukul 17.00, alhamdulillah hujan mulai reda. Untuk kembali ke Iboih, kami harus menghubungi dulu kapal yang mau jemput. Dan yang paling penting, JANGAN buang resi pemesanan dari penyewa kapal! Soalnya disitu ada nomor telepon sama nomor kode pemesanan kita. Kalo ilang, bisa-bisa kita ngga dijemput sama abang-abangnya.

Kuitansi yang teramat penting

Seeya Rubiah

Welcome back to Iboih

Dari Iboih, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya. Salah satu tempat yang paling iconic di Sabang. Apa lagi kalau bukan Tugu 0 Kilometer! I’m so excited. Dan tempat ini katanya bagus banget untuk menikmati sunset.

Awalnya, kami sempet mau mampir dulu di Bixio buat mandi+ganti baju. Kebetulan searah juga kan. Tapi, berhubung udah mepet waktu matahari terbenam, kami akhirnya langsung jos ke lokasi. Dingin bets ya btw, pake kaos lepek-lepek sambil nyetir motor. Dan jalanan ke Tugu 0 Kilometer-nya lumayan ekstrim juga. Naik turun, belok-belok, dan minim pencahayaan.

Gloomy sunset

Kami tiba di Tugu 0 Kilometer, just before sunset. Namun, sekali lagi, sungguh disayangkan. Langitnya masih mendung, jadi mataharinya ketutup awan. Tapi tak apalah, kerana yang lebih berkesan adalah... akhirnya saya berhasil menginjakkan kaki juga di Tugu 0 Kilometer! Yeehaw... Dulu, orang-orang banyak yang bikin sertifikat kalau mereka udah sampai sana. Tapi berhubung sekarang jaman udah canggih, sertifikatnya udah diganti sama foto selfie. :D

Cant't believe I was there

Sedikit fun fact, Tugu 0 Kilometer ini (mungkin) bukan titik nol kilometer NKRI yang sebenarnya ya. Karena dari segi geografis, pulau ter-barat di negara kita saat ini adalah Pulau Benggala, dengan koordinat 5°47′34″ LU, 94°58′21″ BT. Hanya saja, pulau tersebut memang tidak berpenghuni dan terdiri dari bebatuan karang. Tapi dari yang saya baca, terumbu karang di pulau tersebut masih asri, sehingga bisa dikembangan untuk ecotourism.

Selain Pulau Benggala ini, ada lagi yang termasuk pulau ter-barat Indonesia, namanya Pulau Rondo, dengan koordinat 6°4′30″ LU, 95°6′45″ BT . Nah, di sini baru ada yang mendiami, yaitu abang-abang dan bapak-bapak TNI kita yang senantiasa menjaga wilayah kedaulatan NKRI. J


Back to the story, sambil menikmati sunset, saya & mba Riris icip-icip salah satu kuliner khas di sana, yaitu Rujak Aceh. Bedanya sama rujak-rujak lain, Rujak Aceh ini pakai satu buah yang unik banget, namanya Buah Rumbia. Kami disuruh nyobain buahnya sama si mba-mba penjual. Dari luar, bentuknya kayak Srikaya tapi kecil, sementara daging buahnya mirip sawo, menurut saya. Dan rasanya... hmm.. SEPET! Kirain manis, taunya sepet banget, makin dikunyah makin sepet. Duh ini dikerjain sama mbaknya kayanya, haha.. Tapi pas udah jadi rujak, rasa sepetnya (yang bercampur dengan bahan lain) jadi sensasi tersendiri. (PS: saya tetep ngga doyan tapi)

Rumbia itu yang di wadah pink

Jelang Maghrib, kami berdua cepet-cepet balik ke penginapan. Begitu matahari terbenam dan langit mulai gelap, berkendara di daerah sana harus sangat hati-hati. Di beberapa bagian jalan bener-bener ngga ada lampu. It was completely dark, and I REALLY hate driving in the dark sebab penglihatan malam saya sangat buruk. Ditambah, saya masih pake baju lepek bekas snorkeling. Ya Tuhan dingin bets. Namun alhamdulillah, kami sampai di Bixio dengan selamat.

Malam itu adalah malam terakhir kami di Pulau Weh. So sad. But we gotta move on. Berikutnya, kami akan melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh. Dan hari itu bener-bener hari yang paling banyak cobaannya selama perjalanan kami. So, stay tune~



NaraHubung:
Pantai Sumur Tiga
Jl. H. Agus Salim, Ie Meulee, Sukajaya, Kota Sabang, Aceh 24411

Freddies Santai Sumur Tiga
Jalan Kyai Haji Agus Salim, Ie Meulee, Sukajaya, Kota Sabang, Aceh 23521
Telp.: +6281360255001

Casanemo Resort
Jl. K.H. Agus Salim, Kel. Ie Meulee, Kec. Sukajaya, Ie Meulee, Sukajaya, Kota Sabang, Aceh
Telp: 081362999942
Email: info@casanemo.com, casanemo@yahoo.com

Bixio Weh Bungalows
Jalan KM 0, Lingkungan Tiboh, Sukakarya, Aceh
Telp.: 0821 6430 1071

Fahmi Nangin (Rental Kapal, Alat Snorkeling, & Guide Iboih-Rubiah)
Telp.: 085213193756

You Might Also Like

0 comments

Diberdayakan oleh Blogger.