Lima Hari di Barat Indonesia [Ep. 03]: (A Little Bit) Bad Day in Banda Aceh
Juli 03, 2017
Minggu, 14 Mei 2017. Hari terakhir kami di Pulau Weh. Hmm... Rasanya belum puas jalan-jalan
keliling pulau ini. Masih banyak tempat yang belum sempat kami eksplorasi. Definitely, harus ke sini lagi nanti!
Semalem enak banget tidurnya, ditemanin suara ombak dan
dingin hujan (lagi-lagi hujan). Dan kami serasa diisolasi dari dunia luar
karena ngga ada sinyal HP sama sekali. Saya sama mba Riris yang awalnya mau
naik kapal paling pagi ke Ulee Lheue,
akhirnya mutusin buat naik kapal kedua, karena males masih pengen
menikmati suasana penginapan. Namun betapa kagetnya saya, ketika ngecek jadwal di
hari Minggu itu, kapal kedua baru ada pukul 14.00! Wtf. Kami lantas buru-buru packing,
kemudian pamit ke Kak Eva buat check-out.
Kembali, saya memacu motor menyusuri jalanan panjang menuju Pelabuhan Balohan. Dan lagi-lagi, kami dimanjakan dengan pemandangan alam Pulau Weh yang sungguh stunning and breathtaking. Alhamdulillah pagi itu cerah. Tapi entah
siang/sorenya sepertinya bakal hujan lagi...
Asma'ul Husna di sepanjang jalan
One of the breathtaking scenes
Singkat cerita, kami sampai di Pelabuhan Balohan. Dan benar saja, setelah tanya sana-sini,
ternyata kapal kedua baru berangkat pukul 14.00. Hmm..
Port of Balohan
Agak kzl sendiri
ya sebenernya, soalnya di Banda Aceh
kita udah nyusun itinerary sedemikian
hingga. Akhirnya, berantakan. And tbh, I
lost my mood at that time.
Kami lalu cari informasi tiket kapal. Opsinya tetep ada dua:
kapal cepat dan lambat. Of course,
kami ingin kapal cepat, tapi sayang konternya lagi tutup. Terus ada seseorang bapak
(ngga ngerti siapa) yang bilang kalau tiket kapal cepat-nya udah sold out (?) karena udah di-booking sama rombongan. What? Seriusan kapalnya bisa “disewa”
kayak gitu?? That’s unbelievable.
Kami ngga mikir panjang lagi, dan langsung ke konter si
kapal lambat. Ternyata belum buka juga. Terus kami ngobrol sama seseorang pria
(yang tiba-tiba muncul entah darimana). Dia ngejelasin tentang tiket kapal
lambat, tarifnya, dan bla bla bla.. sampai
akhirnya dia nanya tiketnya buat berapa orang, atas nama siapa, dsb. It happened so fast sampai saya ngga
sempet mikir.
Terus dia bilang total tiketnya Rp54.000,00. Dan setelah
saya crosscheck sama daftar harga
(yang saya foto di Ulee Lheue),
total harganya bener jumlahnya (Rp27.000,00/orang). So, kami kasih aja uangnya, dan kami tinggal keluar pelabuhan buat
cari makan. Nah, pas lagi jalan inilah
saya baru mikir.
Who the fvck was that
guy? Tadi itu siapa cobak? Dia ngga keliatan kayak petugas resmi. Kenapa
kita beli tiket ke dia? Gimana kalau dia kabur bawa duit kita? Apa dia calo? O my God, like, kenapa kami ngga interogasi dia dulu sebelum nyerahin duit. Heft. I just lost my mind. Dan kami akhirnya tau yang “sebenarnya”,
beberapa waktu kemudian saat kami kembali ke pelabuhan.
Meanwhile, sambil nunggu
kapal, kami cari makan siang. Kami putusin buat balik lagi ke kota Sabang, dan alhamdulillah, si ibuk penjaga motor ngebolehin kami pinjem
motornya lagi. Yea. Kali ini yang
nyetir mba Riris, kerana saya sudah lelah dengan semua drama yang terjadi hari
itu.
Balik Sabang lagi
Awalnya kami mampir ke tempat sate gurita, tapi sate-nya
baru ada pukul 17.00. Duh apes. Kami
lantas pindah ke tempat berikutnya, yaitu Kedai
Mie Sedap (bukan merk mi instan ya). Agak susah cari tempatnya, soalnya
alamat yang kami dapat dari googling
ternyata beda. Tapi lokasinya ngga jauh dari situ. Masih di sekitaran pasar-nya
Sabang.
Pas sampai kedainya, saya
sebenernya masih agak ragu ini bener apa enggak. Namun begitu mie-nya
disajikan, (saya cocokin sama gambar di Google
juga) ternyata bener ini tempat penjual Mie
Jalak yang terkenal itu!
Mie Jalak
Kalau dari penampakannya sih,
sama kayak mi ayam pada umumnya ya. Dimasak ala-ala Chinese, dan porsinya lumayan banyak. Tapi yang paling enak menurut
saya adalah... telurnya yang dimasak setengah mateng. Jadi kuningnya melted-melted gitu. Harganya juga cukup
terjangkau, Rp15.000,00/porsi.
Perut sudah terisi, saatnya kami kembali ke pelabuhan.
Balik lagi ke pelabuhan
(Di pelabuhan) Setelah ngembaliin motor, kami bergegas ke
loket kapal lambat. Wew udah ramai
bengets itu ruangannya. Saya pun mulai was-was. Bagaimana caranya kita nyari si
pria ‘misterius’ tadi? Dan pas kami telusuri antrian di depan lokat, alhamdulillah, kami ketemu si pria itu—yang
ternyata lagi ngantri beli tiket. Si pria itu pun ngasih tiket kapal atas nama
kami, kemudian... dia minta uang (seikhlasnya) buat ongkos ngantri..
Damn I knew it.
Dia ternyata CALO beneran kan! Heft...
Akhirnya saya kasih aja Rp10.000,00, sambil dalem hati menggerutu. It’s not really about the money, tapi
tentang bagaimana saya seharusnya lebih tegas dan agresif saat ketemu “orang-orang”
macem ini.
Lets just go...
Terus saya jadi inget, si bapak-bapak yang bilang tiket
kapal cepat-nya udah sold out, saya
yakin 99,99% dia juga CALO yang lagi ngantri beli tiket! Dia pasti sengaja
bilang sold out biar kami ngga ikutan
ngantri. Jadi kesempatan dia buat dapet tiket akan lebih besar.
Saya dapet pelajaran, bahwa biasakanlah untuk membeli atau bertanya
ketersediaan tiket pada loket/petugas resmi. (diriwayatkan oleh korban calo)
Boarding...
Move on, sekitar
pukul 14.00, kami akhirnya bisa naik kapal. That
was so crowded! Saya sama mba Riris naik ke dek atas yang terbuka. Dan setelah-agak-lama
kemudian, kapal kami pun bergerak meninggalkan dermaga. And we said farewell to Weh Island..
Seeya!
Ini kami disalip sama kapal cepat. Heft kzl
Perjalanan kami memakan waktu sekitar 2 jam, jadi kami tiba
di Pelabuhan Ulee Lheue sekitar
pukul 16.00. Di sana, kami dijemput sama Bang Jon (temennya Bang Zul sewa
motor), yang mana beliau menyediakan sewa bentor
(becak motor). Kami deal harga sewa Rp200.000,00 buat keliling Banda Aceh (termasuk ke Lampuuk sebenernya) dari sore sampai
malem. Imo, seharusnya bisa lebih
murah lagi ya, tapi pas kami liat bentornya, OMG, ternyata gede & fancy
banget. That was hilarious. Udah
berasa kayak seleb lokal.
Welcome back at Ulee Lheue
And welcome to Banda Aceh
Destinasi pertama kami adalah Museum Tsunami. Saya udah ketar-ketir sih, takut ngga sempat soalnya museumnya tutup pukul 16.45. Dan
akan sangat mengecewakan, kalau udah sampai Banda Aceh tapi ngga mampir ke museum yang iconic ini. Namun alhamdulillah,
pas kami sampai sana, tempatnya masih buka. Meskipun ya tinggal beberapa menit
lagi.
Run run run at Tsunami Museum
Kami buru-buru masuk, dan ternyata tiketnya gratis. Yey. Setelah melewati pintu masuk, kita
akan langsung dihadapkan dengan sebuah lorong, yang dihiasi “air terjun” di
dindingnya, sambil terdengar sayup-sayup dzikir “Laa ilaaha illallah”. Bikin merinding. Seakan kita dibawa pada di
situasi tsunami 26 Desember 2004 silam.
Kemudian, kami memasuki ruang multimedia dimana kita bisa
menyaksikan slide-slide gambar
peristiwa Tsunami 2004.
Ruang Multimedia
Setelah itu, kita akan melewati ruangan (yang paling
emosional menurut saya), yakni Ruang
Sumur Do’a (Chamber of Blessing).
Ruangan ini berbentuk silinder, yang di dindingnya ditempel nama-nama korban
bencana tsunami.
Selama di sini, kita akan ditemani dengan suara lantunan
ayat-ayat suci Al-Qur’an. Dan apabila kita tengok ke atas, kita akan melihat
tulisan lafadz “Allah” yang tampak bercahaya di antara dinding ruangan yang
gelap. Hmm... Seakan mengingatkan,
bahwa suatu saat nanti, kita semua pasti kembali kepada-Nya. Tanpa kita ketahui
kapan, dimana, dan dengan cara seperti apa.
Next, kita akan
melewati jalan spiral ke atas sampai di sebuah jembatan panjang. Dari sini kita
bisa melihat, di langit-langit gedung ada banyak bendera dari berbagai negara
yang turut membantu Indonesia saat bencana tsunami terjadi.
The bridge
The flags
Kemudian, kita sampai di lantai tiga (kayaknya). Di sini,
kita bisa melihat ruang pameran yang menyimpan benda-benda peninggalan saat
tsunami terjadi. Namun sayang, kami tidak bisa melanjutkan keliling museum
lebih jauh, karena udah mau tutup. Too bad.
But still, it was a nice experience tho. J
Maket Museum Tsunami
Plakat Kerjasama Red Cross accross the world
Temporary Exhibition room
Setelah dari Museum
Tsunami, kami lanjut ke lokasi PLTD
Apung I, di Desa Punge Blang Cut.
That was insane ya. Bayangin aja,
kapal seberat 2.600 ton terseret sejauh 5 kilometer dari laut sampai ke desa
ini. Wew.
PLTD Apung
Monumen Tsunami
Kami lalu mampir juga di lokasi kapal yang “nyasar” sampai
ke perumahan penduduk. Nggak jauh dari PLTD
Apung tadi. Sayangnya, kami ngga sempat mampir ke “kapal di atas rumah”
karena lokasinya agak jauh dan tiba-tiba... hujan deres! Heft.
Kapal di tengah permukiman
Rencana kami ke Pantai
Lampuuk pun gagal juga (Fyi, kata
Bang Jon, kalau malam, pantai-pantai di Aceh
ini “ditutup” biar ngga ada muda-mudi non-muhrim yang berduaan/pacaran—due to the sharia rules, I guess)
Kami lalu cari penginapan di sekitaran Banda Aceh dan akhirnya menjatuhkan pilihan di Hotel Prapat. Lokasinya di tengah kota dan harganya cukup
terjangkau mulai dari Rp100.000,00-an/malam. Kami langsung cek in dan naruh
barang.
Hotel Prapat
Menjelang Maghrib, saya sama mba Riris keluar lagi, masih
sama Bang Jon. Kami minta diantar ke Masjid
Raya Baiturrahman untuk sholat Maghrib. Alhamdulillah
yah, seneng rasanya bisa sholat di
masjid yang jadi landmark kebanggaan Banda Aceh.
Masjid Raya Baiturrahman
Lepas Maghrib, kami minta diantar buat makan malam di salah
satu resto (lupa namanya apa, yang penting makan), dan setelah itu, kami
langsung balik ke hotel!
I just wanted that day
to be over. Lelah sudah rasanya menghadapi semua “cobaan” di hari itu. Esok
hari, kami akan melanjutkan perjalanan kami ke... Danau Toba! So, stay tune~
NaraHubung:
Kedai Mie Sedap
Jl. Perdagangan, Kuta Barat, Sukakarya, Kota Sabang, Aceh 24411
Museum Tsunami Aceh
Jl. Sultan Iskandar Muda No.3, Sukaramai, Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23243
Buka: 09.00-16.45
Hotel Prapat
Jalan Jenderal Ahmad Yani No.19
Telp.: (0651) 22 159
Masjid Raya Baiturrahman
Masjid Raya, Kp. Baru, Baiturrahman, Kota Banda Aceh
Bang Jon (sewa bentor)
Telp.: 081360231339
0 comments