Lima Hari di Barat Indonesia [Ep. 04]: Samosir Sehari
Agustus 20, 2017
Senin, 15 Mei 2017. Hari baru, semangat baru, dan siap untuk
petualangan baru!
Sekitar pukul 04.00 pagi, kami berangkat menuju Bandara Sultan Iskandar Muda naik taksi
yang udah kami pesan malam sebelumnya. Hari itu, kami akan terbang menuju Bandara Kualanamu, Medan. Kemudian dari Medan,
kami lanjut terbang lagi menuju Bandara
Silangit, Siborong-borong, Tapanuli Utara. Tujuan kami adalah Danau Toba—yang ternyata, saya baru
kalau letaknya jauh dari Medan.
Awalnya, kami berencana naik bus—yang terkenal fancy itu (ada bus tingkat-nya juga)—dari
Banda Aceh ke Medan. Perjalanan menggunakan bus memakan waktu sekitar 10-12 jam. Berangkat
dari Aceh hari Minggu malem, sampai di
Medan hari Senin pagi. Tapi
berhubung penerbangan pulang saya (Medan—Surabaya) dimajukan ±40
menit, dan juga untuk alasan efisiensi waktu, akhirnya kami pilih jalur udara.
Dan bandara terdekat dari Danau Toba
adalah Bandara Silangit yang
jaraknya pun masih sekitar 2—3 jam-an.
Kami lepas landas dari Banda
Aceh sekitar pukul 06.00, dan mendarat di Bandara Kualanamu, Medan,
sekitar pukul 07.05. Di sana, kami harus ganti pesawat yang lebih kecil (yang
ada baling-baling-nya itu lho). Begitu
di counter transit, ya ampun,
orang-orang udah pada hectic buat
ambil boarding pass. Rame banget. Terus
rebutan buat ke mesin scanner, sampai
dimarahin sama mbak-mbak penjaga scanner-nya.
Setelah dari mesin scanner, saya sama
mba Riris lari-larian ke shuttle bus,
soalnya si mbak-mbak di speaker udah
nyuruh buat naik ke pesawat. Heft.
Lumayan olahraga pagi.
Itu adalah pengalaman pertama saya naik pesawat
baling-baling. Agak deg-deg-an juga ya. Apalagi pas turbulence, kerasa banget goyangnya. Tapi sepanjang penerbangan,
kita akan dihibur dengan pemandangan alam Sumatera
Utara yang sungguh indah. Dan alhamdulillah,
kami sampai di Silangit dengan
selamat sekitar pukul 08.40, ditemani rintik-rintik lembut gerimis.
Dari Silangit,
kami naik taksi ke Pelabuhan Tiga Raja,
Parapat, salah satu tempat
penyeberangan menuju Danau Toba. Ongkosnya
waktu itu Rp300.000,00/mobil (saya yakin kalo kita lebih agresif, bisa lebih murah lagi). Sayangnya, kami cuman
nemu satu orang barengan lagi, jadinya bertiga. Dan tanpa dinyana, ternyata
orang itu kerja di instansi yang sama dengan kami. Hanya saja, beliau dapat penempatan kerja di Balige.
Perjalanan kami menuju Parapat memakan
waktu ±2
jam. Dan di sepanjang perjalanan, lagi-lagi kita akan dimanjakan dengan kehindahan
dan kesejukan landscape daerah
sekitar. Saking nyamannya, sampai bikin ngantuk.
Kami sampai di Pelabuhan
Tiga Raja sekitar pukul 11.00. Saya agak heran juga ya. Dermaganya ternyata
kecil banget dan lokasinya ada di pinggir pasar gitu. Saat kami sampai, sudah ada
dua kapal yang bersandar. Dan kalau kita nyeberang dari Tiga Raja ini, kita akan langsung diantar menuju penginapan
masing-masing di Pulau Samosir—yang
sebagian besar udah punya dermaga sendiri-sendiri.
Kapal kami pun berangkat sekitar pukul 11.30.
Hmm... agak ngga
percaya juga ya, akhirnya saya ada di Danau
Toba! Danau vulkanik terbesar di dunia. Dan ternyata emang gede banget danaunya.
Panjangnya sendiri mencapai 100 kilometer, dengan lebar
mencapai 30 kilometer, dan kedalaman mencapai lebih dari 500 meter (luasnya
melebihi Singapura lho). Danau Toba
masuk ke dalam wilayah tujuh kabupaten, yakni Kabupaten Simalungun, Tobasa
(Toba Samosir), Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan Samosir.
Danau Toba terbentuk
dari letusan Gunung Toba, sekitar
70.000 tahun silam—yang mana tercatat sebagai letusan gunung terdahsyat dalam
kurun waktu 25 juta tahun terakhir. Wew..
(Kembali ke cerita) Kami sebenernya belum booking penginapan sama-sekali. Tapi,
kami dapat rekomendasi dari driver
taksi kami, kalau dia punya kenalan pengelola penginapan. Nama penginapannya Lekjon Cottage. Kami pun berhenti di
dermaganya si Lekjon ini, kemudian
langsung check-in kamar (kerana males
mau cari-cari lagi). Harganya waktu itu Rp200.000,00-an/malam. Kami lalu
langsung diantar ke kamar, dan begitu masuk, to be honest, saya agak kecewa sih.
Sisi baiknya, ukuran kamar yang kami dapat itu luas, dan yang
paling oke, punya view Danau Toba yang bagus banget.
Sisi negatifnya, yang pertama: begitu masuk kamar, saya
langsung disambut sama bangkai kecoak dan udah di-semut-in pula. Pas saya minta
sapu (maksudnya ngasih kode biar dibersihin), eh, si penjaganya malah ngasih sapunya doang. Fak. Ya berhubung saya terlalu baik (apa bego), akhirnya saya sapu
sendiri. But overall, kamarnya emang kurang bersih sih.
Kemudian yang kedua, katanya kami dapet fasilitas shower air panas, eh taunya, di kamar
saya ngga bisa. Heft. Tapi saya udah
ngga ada tenaga dan hasrat lagi buat komplain. Udah males.
Jadi kesimpulannya, dengan harga yang sama, sebenernya kita
bisa dapet penginepan yang lebih baik. Dan sedikit masukan, memang lebih baik
kita booking penginepan dulu sebelum
sampai ke lokasi.
Well, move on, setelah istirahat sebentar,
kami langsung jalan-jalan keliling Samosir,
pakai motor yang kami sewa dari Lekjon
seharga Rp100.000,00/hari.
First impression
tentang Pulau Samosir: it was so beautiful! Nggak kalah cantik
sama Pulau Weh. Masih sangat asri
dengan hutan-hutannya, dengan background
tebing-tebing, dan juga air terjun yang keliatan dari jauh.
Saya kira di sana bakal sepi banget, ternyata udah lumayan
ramai. Apalagi di daerah dekat dermaga, seperti Tuk-Tuk (tempat kami nginep). Udah banyak berjejeran penginepan dan
resto. Banyak yang bergaya internasional, dan mungkin beberapa memang kepunyaan
bule-bule yang menetap di sana. Saya denger cerita juga, kalau daerah Danau Toba ini bakalan di bangun layaknya
Venice, Italy. Kita tunggu saja...
Tujuan pertama kami, sebenernya, masih belum pasti. Secara Pulau Samosir itu kan luas banget dan
kami cuma stay di sana semalam—apalagi
waktu itu udah siang menjelang sore. Kami akhirnya bergerak menuju salah satu tempat
wisata terkenal di Samosir (yang
kebetulan deket juga), yaitu Makam Raja
Sidabutar, Patung Sigale-Gale,
dan Museum Batak. Ketiganya terletak
di satu area, yakni Desa Tomok, Kecamatan Simanindo.
Saya sempet kebablasan
pas nyetir ke sana, soalnya papan petunjuknya ngga keliatan, dan jalan masuknya
sempit banget. Kami sempet ragu juga jalannya bener atau engga, soalnya lewat
pasar-pasar gitu. Kanan-kirinya dipenuhi kios-kios penjual baju, kain, dan
pernak-pernik khas batak. Tapi ternyata, jalannya emang bener, dan kami ketemu
sama papan nama bertuliskan “Sigale-Gale”.
Thank God.
Begitu kami masuk, suasananya sepi banget. Ada patung Sigale-Gale-nya, tapi ngga ada orang sama
sekali. Setelah lihat-lihat dan foto-foto sebentar, kami pun keluar. Di tengah
jalan, mba Riris minta mampir di satu toko baju. Biasa ya, perempuan. Nah, pas
di toko baju inilah kami baru denger ada suara-suara musik dari pertunjukan Sigale-Gale. Dan beruntungnya kami, si
ibu penjaga toko mau nganter kami ke sana biar masuknya gratis! Alhamdulillah yah.
Ternyata, tempat pertunjukannya ada di sisi lain dari tempat
yang kami masuki tadi. Jadi ada dua lokasi patung Sigale-Gale-nya. Waktu kami sampai, di sana udah ada sekelompok
wisatawan sedang asyik menari bersama Sigale-Gale (saya yakin mereka yang bayar).
Jadi ya sudahlah kami ikut nimbrung aja, hehe..
Temen-temen udah pada tau lah ya cerita Sigale-Gale
ini. Tentang seorang raja dan anak laki-lakinya yang meninggal, kemudian
dibuatkan patung menyerupai anaknya, dsb. Ada berbagai macam versi dan bisa di-googling sendiri. Yang jelas, prosesi Sigale-Gale ini sekarang tidak hanya dilaksanakan saat upacara
kematian saja, tapi juga sebagai pertunjukkan kekayaan budaya khas Batak. Saya
masih bisa ngerasa aura mistisnya sih (apa karena emang penakut), apalagi kalau
ditatap lama-lama patung yang mirip manusia itu, sambil menari tor-tor dengan
iringan musik Gondang.. hmm...
Setelah menikmati pertunjukan Sigale-Gale, kami memutuskan untuk jalan lebih dalam lagi menembus
kios-kios. Dan kami sampai di Museum
Batak. Lagi-lagi, di sana sepi banget. Mungkin karena lagi hari kerja juga
ya. Lucky us. Museumnya sendiri
berbentuk Rumah Bolon, dan kalau
masuk, kita harus menunduk sebagai tanda penghormatan (pintunya emang pendek).
Di dalam museum, kita bisa melihat-lihat koleksi peninggalan kebudayaan Batak
zaman dahulu kala. Mulai dari patung-patung, alat masak, alat makan, kalender
kuno, dll. Biaya masuknya Rp3.000,00 aja, dan kalau pengen foto pakai Ulos
lengkap biayanya Rp10.000,00.
The Batak Museum
Kain Ulos yang bisa dipake foto
Inside the museum
Horas! (Mukanya ngga cocok jadi orang Batak y btw)
Sepertinya kita pernah berjumpa
Ledom insternesyenel
Lanjut, kami jalan lagi ngga jauh dari Museum Batak, ada Makam Raja
Sidabutar. Tempat ini terkenal banget di Samosir. Dan lagi-lagi kami beruntung. Saat kami masuk, udah ada
rombongan wisatawan lain, dan kemudian ada om-om penjaga makam yang menjelaskan
sejarah makam tersebut. Cerita lengkapnya bisa temen-temen googling sendiri ya.
Panjang banget ceritanya.
Pokoknya di lokasi tersebut ada makam Raja Sidabutar pertama sampai ketiga, berserta keturunan dan ajudannya,
kemudian ada cerita tentang panglima perang muslim—yang memenangkan perang
karena dia telanjang, lalu ada cerita cinta Anting
Malela, dan masih banyak lagi. Fakta uniknya, zaman dulu, si raja pertama
itu menganut keyakinan bernama Parmalin
yang ternyata mirip dengan agama islam.
Sebelum keluar, kita diminta sumbangan seikhlasnya dan
mengembalikan kain Ulos yang dikasih sebelum masuk makam tadi. Nah, satu hal
lagi yang unik, di gerbang makam ini kita bisa melihat ukiran yang terkenal
banget di Batak, yakni ukiran “cicak dan empat payudara”. Ada yang tau artinya?
Ini dulu masuk ke pelajaran Budaya Nusantara waktu saya kuliah. Ukiran “cicak” itu berarti
bahwa orang-orang Batak harus memiliki sifat adaptif layaknya seekor cicak.
Bisa hidup di mana saja dan dengan keadaan apa saja. Sementara “empat buah
payudara” melambangkan kesuburan, dan diharapkan nantinya rakyat Batak tidak
melupakan asal-usulnya meskipun merantau kemanapun. *cmiiw
Dari Makam Raja Sidabutar, kami melanjutkan perjalanan. Tapi ngga ngerti
mau kemana. Sebenernya banyak destinasi wisatanya, cuma letaknya jauh. Apalagi
udah mau sore. Kami akhirnya memutuskan untuk pergi ke objek wisata Batu Kursi Raja Siallagan, di desa Ambarita. Sekitar setengah jam-an naik
motor dari Makam Raja Sidabutar.
Biaya masuknya seikhlasnya aja. Dan di tempat ini, kita bisa melihat rumah adat,
kemudian ada rumah untuk memasung orang yang bersalah/melakukan kejahatan, dan yang
paling menarik, ada Batu Kursi Persidangan.
Selamat Datang
Rumah-rumah Adat
Rumah untuk memasung
Ada yang mengintip di bawah
And the infamous Batu Persidangan
Batu Kursi
Persidangan-nya ada dua, yang pertama terletak di bawah sebuah pohon besar,
dipakai untuk melakukan persidangan. Sementara di batu kursi yang kedua,
lokasinya tidak jauh dari yang pertama, digunakan untuk mengeksekusi/hukum
penggal pelaku kejahatan berat. Konon katanya, asal-usul cerita orang Batak
makan orang (kanibal) itu dari sini lho.
Kerana si terdakwa yang telah dihukum pancung, badannya akan dibelah, kemudian
diambil jantung dan hatinya, lalu dikonsumsi untuk menambah kesaktian. Namun,
setelah masuknya misionaris yang menyebarkan agama kristen, praktik ‘kanibalisme’
terebut kini sudah tiada lagi. Setidaknya, itulah cerita yang saya dengar dan
baca.
Hari sudah makin sore, dan kami ingin menutup perjalanan
dengan mencari lokasi sunset yang
bagus. Dari hasil googling, kami nemu
satu tempat, namanya Pantai Sibolazi.
Mudah-mudahan pantainya bagus. Dan kami pun memacu motor menuju lokasi tersebut,
dan ternyata... jauh juga.
Kami melewati beberapa desa, hutan, bukit, tebing, dsb. Tapi
senengnya, sepanjang jalan kita akan “dihibur” dengan pemandangan alam Pulau Samosir yang indah bak lukisan. Motor-an
di sana aja udah asik lho. Jalanannya
sepi. Sejuk. Tapi harus tetep hati-hati juga karena beberapa ruas jalan sedang
diperbaiki. Setelah sekitar 45 menit, kami akhirnya sampai Pantai Sibolazi.
Begitu masuk... gak ada orang sama sekali! Eh ada sih, ibuk-ibuk penjaga warung sama anak kecilnya yang jaga
parkiran. Tapi setelah saya bayar parkir, mereka semua pada pulang. Akhirnya
tinggalah saya sama mba Riris berdua di pantai. Adew.
Ternyata pantainya biasa aja sih. Not as stunning. Tapi lingkungannya lumayan bersih, pasirnya halus,
ada area khusus berenang, dan ada sepeda air juga. Sepertinya kalau hari libur,
di situ akan ramai pengunjung dan banyak yang berenang.
Area berenang dan bebek-bebekan
Satu hal yang bikin unik, di tepi pantai itu banyak batu
karang besar yang bentuknya bagus-bagus. Kami heran juga, darimana asal
batu-batu tersebut.
Tapi, kami ngga lama ada di sana. Ngga sampai matahari
bener-bener terbenam. Soalnya jalanan di Pulau
Samosir agak serem juga kalau malam, agak minim penerangan. Jadi, kami segera
kembali ke penginapan, kemudian makan malam, lalu tidur. Dan malam itu, hujan
lagi...
Keesokan harinya adalah hari terakhir kami berpetualang. So sad. Tapi keseruan masih berlanjut lho, saat kami menempuh perjalanan
panjang kembali ke Medan. Stay tune~
NaraHubung:
Lekjon Cottage
Tuktuk Siadong, Samosir island, Tuktuk, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara 22395
Telp.: 08112523654
NaraHubung:
Lekjon Cottage
Tuktuk Siadong, Samosir island, Tuktuk, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara 22395
Telp.: 08112523654
Makam Raja Sidabutar, Museum Batak, Patung Sigale-Gale
Desa Wisata Tomok Parsaoran, Kec. Simanindo, Kab. Samosir
Objek Wisata Budaya Batu Kursi Raja Siallagan
Huta Siallagan, Siallagan-Pindaraya, Kec. Simanindo, Ambarita, Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara 22395
Buka: 06.00-21.00
Telp.: 082222260098
0 comments