Wajah Asli Negeri di Pulau Gili
Agustus 16, 2015
Kami merencanakan perjalanan ini seminggu sebelum hari-H. Waktu itu,
saya lagi ‘pulang kampung’, melarikan diri dari rutinitas harian yang
membosankan di Jember. Seperti biasa, saya menyempatkan diri ketemuan sama
kawan-kawan lama semasa sekolah. Kita nongkrong di salah satu café (cieh) di
kota Probolinggo. Dan seperti biasa pula, kami membicarakan tentang kegiatan
sehari-hari, tentang hal-hal yang tidak terlalu penting, dan yang pasti nggak
ketinggalan menggunjing membicarakan teman-teman lain. Di tengah asyik
menikmati obrolan penuh dosa itu, munculah ide buat mengunjungi salah
satu destinasi wisata di daerah kami. Pulau Gili Ketapang. And that was a great
idea! Secara kalau dipikir-pikir, selama 19 tahunan saya hidup di Probolinggo,
saya belum pernah mengunjungi pulau kecil itu. Padahal deket banget. Akhirnya,
jadilah kami merencakan perjalanan ini dan merealisasikannya di weekend
berikutnya.
Gili Ketapang adalah sebuah pulau kecil yang berada 8 km di utara Probolinggo.
Untuk kesana, kita perlu naik motor dari Pelabuhan Tanjung Tembaga, Probolinggo.
Pulau seluas 68 hektar ini dihuni oleh sekitar 7.600 jiwa yang mayoritas
merupakan Suku Madura dan berprofesi sebagai petani. Karena keindahan alamnya
(despite beberapa sampah yang berserakan), Pulau Gili Ketapang menjadi salah satu
destinasi wisata di Kabupaten Probolinggo.
Pulau Gili Ketapang
I have anticipated this vacation since day 1, Senin. Sejak pertama kali
masuk kantor, saya udah nunggu-nunggu dan nggak sabar buat hari Jumat! :P Dan
saat akhirnya hari itu datang, saya langsung cuss dari kantor tepat pukul
17.00, dan pergi ke terminal buat naik bus, pulang ke Leces. Sebenernya kalau
mau, banyak sih pegawai-pegawai yang juga pulang tiap Jumat dan searah sama
saya. Ada yang rumahnya Malang, Surabaya. Tapi gimana ya, saya lebih suka naik
bus sih. Minggu sebelumnya saya sempet nebeng salah satu bapak pegawai (setingkat
Kepala Seksi) yang rumahnya Malang. But then, there were so many awkward
moments, and awkward conversations, apalagi kita di mobil cuman berdua XD
Anyway, saya lebih suka naik kendaraan umum, macem bus. Di situ, saya
bisa ketemu orang-orang baru, bisa melihat/mengetahui a glimpse of their life,
ngobrol, cerita-cerita. Dan itu adalah hal yang menyenangkan buat saya. Get in
touch with REAL people (karena sampai sekarang saya masih menganggap kalau
kehidupan kantor dan kehidupan pribadi saya adalah dua hal yang terpisah).
Meski kadang orang bilang, ‘ngapain naik bus kan lebih enak nebeng naik mobil’,
tapi saya punya kesenangan sendiri. And
I learn so many things from that. J
Dan, akhirnya Sabtu pagi pun tiba. Yeay! 8 Agustus, sekitar pukul 07.30 (kesiangan), saya berangkat dari rumah
dan dijemput my boy-friend @prayogo_ari :P Terus kita jemput salah satu trip buddy kita
@wulaan05 yang rumahnya di Leces juga, lalu kita bertiga pun beriringan menuju
kota Probolinggo. Kita berhenti di Masjid Agung Probolinggo, dan nunggu trip
buddy kita yang lain, @finnadadwi & @friskadevimella. Setelah lumayan lama nunggu, kedua
cecunguks itu pun datang dan kita berangkat menuju Pelabuhan Probolinggo. Waktu
itu udah pukul 09.00 kurang.
Kita jalannya satu-satu biar nggak ditarik tiket masuk sama penjaga
pelabuhannya. And we made it! :P Kita lolos tanpa disuruh bayar, hehe… Aroma
khas tepi laut pun mulai semerbak memenuhi rongga hidung (baca: amis). Kita pun
memacu motor kami menuju salah satu sudut Pelabuhan dan memarkirnya di tempat parkir
(yaiyalah). Di tepi dermaga banyak perahu yang bersandar dan ada salah satu
perahu kecil yang penuh dengan manusia. “Are
we gonna ride this ‘thing’?” pikirku dalam hati
Dan ternyata bener! Itu adalah perahu yang akan berangkat menuju pulau
Gili. Saya excited sih, cz it will be fun, tapi takut juga. Itu kapal kecil
udah penuh banget keliatannya. Udah nggak ada space buat kita duduk. Perahu itu
dibagi dua bagian, ada bagian atas, sama bagian bawah. Kedua ‘lantai’nya udah
penuh sama manusia. Plus kelapa, plus sayur-sayuran, dan dilengkapi dengan
sebuah sepeda motor yang nangkring cyantiq di dek atas bagian depan. Ada yang
nyaranin kita naik kapal berikutnya. Tapi pas kita Tanya, kapal berikutnya
berangkat satu jam kemudian. Duh, kalo ikut amazing race kita bisa kalah tuh. Akhirnya, kita mutusin buat naik
kapal-yang-udah-penuh itu. Si petugasnya bilang kalo kita masih bisa muat, dan yah kita
coba aja. Kita udah kayak refugee dari negara apalah yang mencari tempat untuk
mengungsi.
Untuk masuk kapal, kita kudu melewati papan kayu titian kecil yang rapuh
nan tidak stabil. Saya jalan paling belakang soalnya takut. Dan alhasil,
konsekuensi dari jalan paling belakang adalah saya kebagian duduk di pinggiran
kapal. Cewe-cewe pada duduk di bagian tengah, dan udah saya suruh geser-geser
maksimal ke tengah, tapi tetep aja nggak bisa soalnya udah full banget. I was
freaking out a bit. Begitu nengok ke kanan, itu udah air. Dan nggak ada tempat
buat pegangan. Dan satu hal lagi, yang paling krusial. Saya nggak bisa berenang.
SAMA SEKALI. And that makes me afraid of deep water. Saya hadep-hadepan sama
@prayogo_ari dan kalo terjadi sesuatu saya udah booking sama dia buat dislametin
duluan XD
Tidak berapa lama, perahu pun berjalan meninggalkan dermaga. Ternyata
kalau udah jalan, perahunya jadi nggak terlalu serem, dan goyangnya masih
lumayan stabil. Saya sempet kagum juga sama si pengendali kapal yang dengan
terampilnya mengarahkan kapal melewati kapal-kapal lain yang bersandar (padahal
waktu itu kapal kita kejepit kapal lain). Kami pun keluar dari Pelabuhan
Probolinggo. And, there we go, ke lautan lepas.
Open Ocean...
Wow. It was so refreshing. Kalau diinget-inget, udah lama juga saya
nggak ngeliat laut. Air yang tadinya biru kecoklatan di Pelabuhan, sekarang
udah jadi biru banget. Dalem pasti ya, hiii… XD Kapal pun sesekali bergoyang
agak kencang diterpa ombak. Beberapa orang ada yang teriak kecil. Kita juga
sih. Dan ternyata waktu itu di kapal kita ada pelancong-pelancong lain yang
juga pertama kali ke Pulau Gili. It was really fun actually. Ngeliat
macem-macem orang dengan segala barang bawaan mereka. Sempet kesel juga ada
emak-emak di belakang saya yang di tengah perjalanan malah maksa buat tiduran
selonjoran. Udah sempit bukk! (-_-)
Nengok dikit udah air cuyy...
Perjalanan itu memakan waktu 30-45 menit. Dan pas udah deket Pulau air
yang biru perlahan berubah menjadi tosca
(my favorite color!). Bagusss banget. Kita pun merapat ke dermaga dan masalah
tantangan lain pun muncul.
Untuk naik ke dermaga ternyata butuh perjuangan juga. Karena posisi
dermaganya yang tinggi, sementara posisi kapalnya di bawah, kita butuh alat
buat naik. Belum lagi dengan kapal yang entah kenapa goyangnya lebih heboh dari
pas ada di Pelabuhan Probolinggo. Mungkin karena di pinggir dermaga Gili airnya
masih dalem ya (di Probolinggo dangkal) jadinya ombak masih lumayan kenceng.
Bikin pusing dan udah mau muntah. Dan setelah mengetahui alat apa yang kita
pakai buat naik, saya jadi tambah lemes. Untuk naik, kita pakai tangga bambu
yang biasa dibuat manjat pohon mangga. Dan semua orang pada hectic waktu itu.
Karena emang susah. Kalo kapalnya goyang naik-turun/maju-mundur, otomatis
tangganya juga geser, dan susah buat stabil. Akhirnya banyak yang
teriak-teriak. Apalagi kalo pas ada anak kecil. Haduuh, ngelus dada. Kita milih
naik belakangan biar kapal agak longgaran. Dan Alhamdulillah kita bisa naik
dengan selamat. Alhamdulillah.
Alhamdulillah selamet...
And, here we are. Gili Ketapang Island! Yeay….
At the dock... (sorry for the poor quality)
Kita langsung menuju ke bagian barat pulau. Sebelum merapat tadi, kita
udah ngeliat sisi barat pulau Gili itu spot yang bagus buat foto-foto. Awalnya,
kita jalan di jalan kecil di permukiman penduduk. Sempet ketemu sama turis
lainnya juga. Tapi akhirnya kita mutusin buat ke pantai lagi dan bergerak ke barat dengan menyusuri tepian pantai. Wew, it was hot. Tapi indah! Dan akan
lebih indah lagi kalau nggak ada sampah yang mengapung maupun berserakan di
tepi pantai.Sepanjang perjalanan, kalo nemu spot yang bagus (dan sekiranya
nggak ada sampah) kita foto-foto. Ya biasalah ababil. Pas jalan itu, kita
ketemu kambing-kambing yang lagi asyik makan sampah, ada ibuk-ibuk lagi mandi,
ada anak-anak yang lagi renang. Di sana juga ada beberapa orang yang lagi bikin
kapal. It was awesome. Dan untuk semakin memaksimalkan momen, saya memutuskan
untuk mengganti celana training panjang yang saya pakai dengan celana cabe di
atas lutut. Now, I’m freeeee~
Asyik berenang
Ci ibuk lagi ngapain ya...
The shipmaker
Walk your ass, b*tches! XD
Singkat cerita, sampailah kita di ujung barat Pulau Gili. And wow, It
was gorgeous actually! Pasirnya putih. Warna lautnya cyantique banget. Gradasi
biru muda ke biru tua. Sayangnya masih ada beberapa sampah yang berserakan. Dan
pas kita nyampe sana, keadaannya sepi banget. Serasa punya pulau pribadi. Dan
tentu kita memanfaatkan momen ini untuk berfoto-foto ria, dan bikin video
ala-ala anak kekinian. Sebenernya pengen banget nyebur tapi berhubung nggak bawa baju ganti, yah, kapan-kapan kalo kesini lagi lah...
Hmm hmm...
Lumayan lama juga kita di sana, sampai mau Dhuhur. Dan kita pun
memutuskan untuk menyudahi sesi pemotretan itu, karena udah laper dan haus
banget. Ditambah lagi udah ada orang-orang yang berdatangan di ‘pantai pribadi’
kami, plus ada bapak-bapak mencurigakan yang sedari tadi mengikutin kami. Kami
pun bergerak meninggalkan pantai dan menelusuri jalan-jalan kecil di antara
rumah penduduk.
Satu hal yang kita cari waktu itu. Penujual minuman dingin! Kita bawa
minum sih, tapi udah mau abis, dan pengen banget minum es. Setelah sekian lama
kita menelusurin gang-gang di sana, akhirnya kita menemukan sebuah warung yang
menjual es blewah. Langsung dah kita pesen lima bungkus! Sembari menunggu
pesanan, kita disuruh duduk dan istirahat oleh salah seorang ibu-ibu penduduk.
Dan inilah pesona lain dari Pulau Gili!
Masyarakatnya ramah dan baiiiiiiik. Banget! Terlebih kepada pengunjung,
seperti kami. Kita bahkan istirahat di rumahnya, dan sampai-sampai di suruh
mandi di rumahnya kalau mau. Awalnya, saya pikir ibu ini pasti ada maunya.
Jangan-jangan nanti kita dimintain duit lagi buat biaya ‘duduk-duduk’. Tapi
ternyata saya salah. Kita tidak ditarik biaya apapun alias gratis! Dan bahkan,
saya belajar banyak dari penduduk lokal sini.
Ngotor-ngotorin rumah orang
Kami ngobrol banyak hal dengan si ibu pemilik rumah, yang ternyata masih
saudaraan sama ibu penjual es blewah tadi. Meskipun agak sedikit ada language
barrier, karena mayoritas penduduk Gili berbicara bahasa Madura, tapi untungnya
kawan saya @prayogo_ari lumayan fluent dalam berbahasa Madurese.
Sambil kami membongkar cemilan kami, kami ngobrol sama si ibuk pemilik
rumah. Dia nanya asal kami darimana, kegiatan sehari-hari kami apa. Dan kalau
dilihat dari rumah si ibuk ini, kayaknya sih dia termasuk orang berada lah ya,
kalau dibandingkan dengan rumah penduduk lain. Ternyata beliau dan suaminya ini
berprofei sebagai nelayan. Punya tambak juga lho. Dan kata beliau, kalo lagi
musim, sehari melaut itu bisa dapet penghasilan sekitar 1,5 juta! Wew, ngalahin
pegawai yeh. Namun dibalik itu, kehidupan masyarakat di sini terbilang, yah,
agak susah juga sih ya. Bukan perkara materi, well, mungkin ada juga sih ya
beberapa, tapi lebih ke kehidupan sehari-harinya itu lho.
Di sini listrik hanya tersedia dari Maghrib sampai Shubuh. Dulu,
sebenernya PLN mau memasukkan listriknya full sehari ke pulau ini, tapi karena
satu dan lain hal, jadi nggak jadi. Kalau kata si ibuk sih, gara-gara masalah
politik. Jadi karena salah satu calon
kepala daerah Probolinggo kalah suara di pulau ini, jadinya program buat
masukin listrik ke sini dibatalin. Entah bener atau enggak ya cerita itu. Tapi,
ya, susah juga kan ya kalo siang nggak ada listrik. Tapi, untungnya PDAM udah
masuk ke sini.
Kesulitan lain mungkin dari segi fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan keterangan si ibuk, di pulau ini, sekolah hanya ada sampai tingkat
SMP. Jadi, kalau mau ngelanjutin sekolah ya kudu nyebrang ke Probolinggo. Dan
pas kita tanya kapan kapal paling pagi ke pulau ini, ibuknya bilang kapal paling
pagi pokoknya yang dipakai Pak Guru datang ke sini, sekitar abis Shubuh. Wew,
gurunya aja mesti ‘diimpor’ dari Probolinggo. Sementara, untuk fasilitas
kesehatan, di Pulau Gili sudah ada puskesmas, Tapi kata ibuknya bidan yang ada
di sana sekarang kemampuannya belum mumpuni, ditambah mungkin dengan fasilitas
yang kurang. Jadi, kalau ada penduduk lokal yang sakit dan butuh infus, mereka
harus nyeberang dulu ke Probolinggo. Ckckckck…
Karena udah siang banget menjelang sore, kami pun berpamitan ke ibu
pemilik rumah. Kita juga bayar lima plastik es blewah yang tadi kita beli, dan
yang bikin kaget harganya Rp5.000,00 lima bungkus! Jadi sebungkusnya cuman
1.000 perak! Ya, ampun zaman sekarang ya, di tempat sekecil itu masih ada es
semurah itu. Unbelievable. Kami pun melangkah menyusuri rumah-rumah penduduk,
menuju dermaga. Berdasarkan keterangan ibu-ibu tadi, akan ada kapal menuju
Probolinggo sekitar Ashar.
Sesampainya di dermaga, sembari menunggu kapal, kami mencari
masjid/musholla untuk sholat Dhuhur. Pas ketemu musholla, eh ternyata airnya
habis. Alhasil, kami memutuskan untuk berwudhu dengan air laut. Wew.
Cewek-cewek wudhu duluan, sementara saya & @prayogo_ari jagain tas-tas. Pas
nungguin itu, kami berdua didatangi oleh sepasang suami-istri, penduduk lokal
Gili, menanyakan apa yang temen cewek kami lakukan di pantai. Wudhu, jawab
kami. Kedua bapak-ibu tampak kaget dan langsung menawari kami untuk wudhu dan
sholat di rumahnya saja. Nah. Keramahan kedua yang kami temui hari itu!
Namun, karena sudah terlanjur temen cewek kami wudhu dan sholat di
musholla, akhirnya saya & @prayogo_ari nunggu sampai mereka selesai sholat,
lalu kami berlima pergi bersama–sama menuju rumah Pak Modin dan istrinya
(kemudian kami berkenalan). Saya & @prayogo_ari lantas numpang sholat di
musholla di depan rumah Pak Modin.
Agak aneh, kaget, tapi seneng juga ya sebenernya. Kenapa orang-orang di
pulau ini ramah-ramah dan baik banget. Bayangin aja lho, kita ini orang asing,
baru kenalan juga beberapa menit yang lalu, tapi mereka udah sangat baik hati
ngundang kita ke rumahnya, numpang sholat, terus disuruh masuk juga ke ruang
tamunya buat istirahat. Waktu itu kita udah kayak sonjo-sonjo/silaturrahmi lebaran ke saudara aja. Ditambah lagi,
kita disuguhin minum dan kue-kue ala ala Idul Fitri.
Kita ngobrol banyak dan lumayan lama juga. Ternyata Pak Modin dan
istrinya ini adalah anak-anak asli Pulau Gili, yang ketemu, dekat, lalu
menikah. Lucu juga ya. Sesama penduduk di pulau yang berukuran kecil itu
membangun keluarga baru. Mereka berkata kalau keadaan Pulau Gili ini
benar-benar aman, nggak ada maling, bahkan sepeda yang diparkir sembarangan aja
nggak akan hilang. Dan dari kedua pasangan ini juga kami mendapatkan cerita
bahwa mitos yang beredar tentang Pulau Gili selama ini ternyata ada alasan
logisnya.
Jadi, kisah yang berkembang di masyarakat adalah bahwa Pulau Gili ini
makin lama terasa makin menjauh dari daratan utama Probolinggo. Orang-orang
mengira pulau ini ‘bergerak’. Tapi berdasarkan cerita Pak Modin & istrinya,
yang notabene adalah penduduk asli pulau ini, kisah itu tidak sepenuhnya benar.
Faktanya, dulu, Pulau Gili ini berukuran jauh lebih besar daripada saat ini,
dengan garis pantai yang juga lebih panjang. Namun, pasir-pasir yang ada di
pantai banyak diambil/dikeruk untuk dijadikan bahan bangunan. Dan lama-kelamaan
hal ini membuat garis pantai Gili berkurang sedikit demi sedikit. Hingga saat
ini, ukuran Pulau Gili sudah banyak menyusut. Hal inilah yang menyebabkan Pulau
Gili ‘seolah-seolah’ pulau ini bergerak menjauhi Probolinggo. Padahal yang
sebenarnya, ukuran pulau inilah yang makin mengecil.
Pak Modin & istrinya juga memberitahu bahwa spot yang paling indah
sebenarnya ada di bagian timur pulau. Dan kita salah sudah menghabiskan waktu
terlalu banyak di bagian barat. Di bagian timur itu juga ada satu gua, Gua
Kucing namanya. Dinamai demikian karena di setiap malam Jumat manis (katanya)
banyak kucing yang nongkrong di gua ini. Lokasi ini juga sering didatangin
orang-orang dari luar Pulau, apalagi pas malem Jumat. Banyak orang yang tirakat
di sini, katanya. Sayang, waktu itu kami belum berkesempatan mengunjungi tempat
tersebut karena udah terlalu sore.
Selepas sholat Ashar, kami pun berpamitan dan sempat saling bvertukar
nomor telepon dengan Pak Modin. Kalau lain kali mau ke Gili lagi, kami disuruh
menghubungi beliau dulu. Nanti akan dibantu kalau kami ingin men-charter kapal
(tentu harga orang lokal lebih murah), dan ngasi informasi mengenai
cuaca/keadaan alam di pulau (kalo angin terlalu kenceng kan bahaya juga).
Selesai pamit, kami pun menuju ke dermaga, dan untungnya udah ada kapal yang
mau ke Probolinggo. Dan ombak sore itu bener-bener lebih heboh dari paginya ya,
tapi untungnya kapal agak sepi jadi kita bisa duduk dengan santai dan aman. Meski tarif kapal mengalami
kenaikan dari yang pagi cuman Rp7.500,00, sore itu jadi Rp10.000,00. Yaudah lah
ya, yang penting selamet sampai tujuan.
Favorite shot :3
Perjalanan kali ini bener-bener berkesan buat saya pribadi. It’s rejuvenating
my mind, and, my faith to humanity!
It was also a humbling and eye-opening
experience. Dari perjalanan ini saya sadar bahwa di luar sana masih
banyak orang-orang baik yang mau menolong tanpa pamrih, tanpa mengharap imbalan. Di saat dunia luar menganut prinsip
‘tak ada yang gratis di dunia ini’, masyarakat Pulau Gili tampaknya masih
mempertahankan kebersahajaannya. Bahwa tak akan ada kebaikan yang sia-sia.
Bahwa apa yang kita tanam, itu juga yang akan kita tuai.
Tanahku yang kucintai...
Engkau kuhargai...
Terima kasih Pulau Gili, bapak-ibuk penduduk, and my trip buddies @prayogo_ari @finnadadwi @friskadevimella @wulaan05 Semoga kita bisa ke sini lagi ya J
Thanks-List:
Trip buddies, for the joyful vacation
wikipedia.org, for the info
Photographers, indonesia-tourism.com, wikipedia.com, for the pics
YOU, for reading this! :)
0 comments