Prau Trip: Pendakian Ter-drama!
Juni 30, 2018
Dalam rangka menyukseskan program “One Year One Mountain”
yang saya canangkan pada tahun lalu (untuk saya sendiri), maka tahun ini saya
berencana untuk kembali menapaki salah satu gunung yang ada di Indonesia. Bagai
gayung bersambut, ternyata sahabat saya—yang juga rekan seperjalanan di Tambora—Yungski (@yuanggafp),
ngajakin jalan ke Gunung Prau, Jawa Tengah. Tentu saja saya menyambut baik
ajakan tersebut. Namun ternyata perjalanan kami tidak semulus yang saya
bayangkan. So much drama! Dan barangkali,
ini adalah pendakian ter-drama sampai sejauh ini...
So here where the
story begins...
Gunung Prau sendiri sudah sangat terkenal di kalangan para
pendaki. Selain karena keindahan alamnya, gunung ini juga punya medan yang
ramah untuk para pendaki pemula, macem kami. Dan untuk memudahkan perjalanan,
kami memilih untuk ikut open trip.
Awalnya kami pengen ikutan trip glamping (glamourous camping).
You know, yang tendanya kece, ada
toilet portable, makannya sushi,
pasta, burger, terus area camping-nya
dihiasi lampu-lampu kecil. Pokoknya manjha deh. Cari aja di Instagram, ada akun
operatornya. Tapi karena sayang duit ngga ada jadwal glamping yang pas, akhirnyanya kami join trip yang “biasa” aja. (Mohon maaf
kali ini saya ngga nyebut operatornya kerana cerita ini mostly berisi review negatif. So
sorry).
Drama dimulai bahkan sejak kami gabung ke grup WA open trip tersebut. Waktu itu udah ada
beberapa anggota lain, yang mana saya ngga ngerti mereka itu panitia atau
peserta trip, soalnya di profpic
mereka udah pake kaos bergambar “merk” operator trip tersebut. Tapi yang jelas,
keanehan di grup ini adalah... sangat sangat minimnya informasi UMUM tentang
trip yang akan diselenggarakan!
Bahkan untuk sekedar itinerary,
saya harus nge-DM salah satu panitia, baru kemudian dikasih. Temen saya yang
tanya itin juga di grup, dibalas (sama panitia lain) katanya bakal ada revisi itinerary makanya ngga di post dulu. Tapi saya DM ulang ke panitia
yang lain, ngga ada itu yang namanya revisi! Like, wtf dude?!
Dan yang bikin saya paling ngga nyaman di grup itu adalah chat-chat “ngga penting”, yang ngga ada
hubungannya sama trip, yang dilontarkan dengan bahasa kurang sopan sampai
menyebutkan berbagai macam (maaf) alat kelamin! Well, saya ngga ngerti ya, apakah itu emang jokes “bro bro gunung” or
jokes “lakik” or whatever. Dan bukannya saya ngga suka dengan “keakraban” yang
ada di sana.Tapi kan ya namanya di grup open
trip yang pesertanya dari berbagai latar sifat, karakter, dan tingkat
toleransi, akan lebih baik kalo kita menjaga lisan. Apalagi ada cewek-cewek dan
ukhti-ukhti juga di grup itu. Hmm..
Anyway, drama lain
yang saya pribadi hadapi adalah susahnya cari kendaraan ke meeting point kita, di Terminal Mendolo, Wonosobo, Jawa Tengah. Saya
kira karena di sana ada wisata Dieng, maka transportasinya bakal gampang. Tapi
ternyata ya susah-susah gampang. Mungkin karena letaknya yang ngga dilalui
jalur utara & selatan ya. Belum lagi kemarin masih suasana lebaran jadi
tiket-tiket pada abis atau harganya naik. Hft.
Kalau mau naik kereta, kita cuma bisa sampai di kota terdekat kayak Yogya,
Purwokerto, atau Semarang, terus lanjut naik bus lagi. Tapi untungnya, saya
nemu bus direct dari Surabaya ke
Wonosobo, dari operator Handoyo.
Saya booking tiketnya via bosbis.com
dan ternyata harganya lebih murah dari harga agen Handoyo yang saya telepon!
[Sabtu, 23 Juni 2018]
Saya tiba di Wonosobo menjelang Shubuh dan ngga lama
kemudian ketemu sama rombongan yang berangkat dari Jakarta, termasuk Yung & Pujai (@pupujai)—tripbuddies saya kali
ini. Total pesertanya waktu itu hampir 20-an orang. Btw, sebenernya meeting point-nya
ada di Jakarta dengan harga paket trip Rp500.000, tapi berhubung saya kerja di
jawa Timur jadi ya ketemuannya di Wonosobo dengan harga paket setelah korting
jadi Rp300.000. Mursida khan. Tapi ya ternyata sebanding sama kualitasnya.
Kirain bakal langsung berangkat, tapi ternyata kita masih
harus nunggu rombongan lain yang berangkat dari Jakarta naik kereta. Heft. Saya sebenernya bingung juga
kenapa berangkatnya pada misah-misah sik. Kenapa ngga bareng naik salah satu
kendaraan aja sik. Dan dari info yang beredar, kereta tersebut baru nyampe
Purwokerto pukul 08.00, terus masih naik bus lagi for God knows how long. Saya sama anak-anak sampe udah beli
sarapan, beli gorengan, jalan ke Indomaret, beli mie ongklok, eh si rombongan
kereta belum datang uga. Betek nga sih. Daan akhirnya mereka baru datang
sekitar pukul 13.00.
Gerimis kecil mengiringi keberangkatan kami menuju basecamp Patak Banteng yang terletak di
Desa Patak Banteng, Kecamatan Kejajar. Selain jalur Patak Banteng, ada lima
jalur pendakian lain yang bisa dipakai yakni Kali Lembu, Dieng Wetan, Dieng
Kulon (Candi Dwarawati), Campurejo, dan Wates. Namun, dari kesemuanya ini,
jalur Patak Banteng yang paling sering dilalui karena jarak tempuhnya yang
paling pendek (meskipun ternyata tidak semudah itu). Untuk ke Patak Banteng,
dari Terminal Mendolo kita perlu naik kendaraan umum kayak bis kecil gitu
dengan harga ±Rp20.000/orang.
Di tengah jalan, gerimis pun berubah menjadi hujan deras.
Alemong nih. Jalurnya bakal licin & becek. And I hate it so much! Ahh, cobak berangkatnya ngga kesorean, pasti
kan nggak......... huft. Di basecamp,
hujannya sempet berhenti. Tapi pas kami mau jalan, eh hujan lagi. Nunggu lagi. Akhirnya
kami baru bener-bener berangkat itu sekitar pukul 16.00.
Begitu mulai, kita langsung dihadapkan dengan tanjakan yang tiada
akhir. Dan sebenernya ya, Patak Banteng ini isinya tanjakan semua! Perjalanan
kala itu makin dipersulit dengan jalanan yang basah, licin, becek, dan dingin. Oiya,
di jalur Patak Banteng ini ngga ada sumber air lho, jadi kita harus siap-siap bawa
bekal air. Tapi tak perlu khawatir, karena di sepanjang Pos 1-Pos 2 itu ada
beberapa warung yang tidak hanya jual minum, tapi juga potongan semangka,
gorengan, dan cemilan lainnya. Manjha banget kan gunung inih.
Malam menjelang dan kami masih belum sampai di lokasi camping. Perjalanan jadi makin sulit
karena gelap dan minim pencahayaan. I
hate dark so much! Entah sudah berapa kali saya kepleset waktu
manjat-manjat di trek itu. Sekitar hampir Isya, saya, Yung, & Pujai sampai
juga di atas. Finally! Dan well, bukannya jumawa, tapi kami bertiga
termasuk grup terdepan dalam rombongan. Begitu sampai, kami bantu mendirikan
satu tenda untuk sekedar bernaung dan masak air. Dan waktu itu, dinginnya.....
Ya Allah.... dingin bhanghet! Kami cepet-cepet ganti baju biar ngga kedinginan
& masuk angin, terus bergumul di dalam tenda sambil makan cemilan.
Drama berlanjut ketika beberapa saat kemudian, sisa rombongan
datang dan.... tiba-tiba ada peserta yang mengklaim dan memplot penempatan
tenda! Dia bilang tenda yang kami bangun itu tempat dia dan temen-temennya
tidur. Wtf dude?! (Later we know kalo mereka ini a bunch of school kids, so yeah, ngga
heran kalo bahasa mereka di grup WA kayak gitu)
Si panitia juga diem-diem bae. Ngga ada ketegasan mengenai
pembagian tenda dan segala macem. It was
so messed up! Akhirnya saya & Yung ngungsi ke tenda lain (si Pujai mah udah tenang di tenda cewek). Malam itu pun ngga ada kejelasan
mengenai makan malam. Jadi semua orang udah kayak ngurusin diri sendiri.
Masak-masak sendiri, makan-makan sendiri. Dan nggak lama kemudian, tanpa
dinyana, hujan kembali turun! Tenda saya rembes dong, airnya
pada netes masuk. Emmh. What a perfect day! Akhirnya kami berdua
langsung tidur. Udah males mau makan & ngapa-ngapain.
Keinginan kami hanya satu. Segeralah datang hari esok!
[Minggu, 24 Juni 2018]
Kami terbangun oleh suara-suara gaduh di luar tenda. Ah,
pasti sudah pagi. Tapi begitu melihat keluar tenda.. hmm... kabut semua. Tapi
untungnya itu tidak berlangsung lama, sebab beberapa menit kemudian, matahari
tampak bersinar. Meskipun sesekali ya tertutup kabut.
Saya, Yung, & Pujai pun meninggalkan grup dan
menjelajah sendiri ke sekitar area camping untuk mendapatkan spot foto terbaik.
Ternyata benar apa kata orang. Pemandangan di Gunung Prau ini cantik!
Dari salah satu sudutnya, kita bisa melihat panorama si gunung kembar, Sumbing & Sindoro.
Belum lagi hamparan padang bunga Daisy yang semakin cantik
saat terkena sinar matahari pagi.
Ahh, benar-benar
penawar semua drama yang terjadi selama pendakian.
Puas foto-foto, kami pun kembali ke tenda dan
alhamdulillah-nya kali ini ada makan pagi bersama. Ngga lama kemudian saya, Yung, & Pujai udah beres-beres barang & siap-siap turun. Kami
pengen secepatnya turun sebab kami masih mau lanjut perjalanan ke Yogyakarta.
Yees, kami mau nambah liburan sehari di Yogya!
Tapi kami semua baru bener-bener jalan turun sekitar pukul
12.00, karena it took them sooooo long
buat packing! Heft. Dan kami turunnya lewat jalur Dieng. Yah lumayanlah buat cuci
mata dan menjelajah jalur yang berbeda. Apalagi banyak landainya jadi ngga
terlalu menguras tenaga.
Nah, kalo lewat jalur Dieng ini, kita akan melewati puncak
Gunung Prau yang “sesungguhnya”. Mungkin selama ini kita taunya lokasi camping
itu adalah puncaknya Prau (dengan ketinggian 2.565 mdpl). Tapi kenyataanya, ada
lho puncak Prau yang lain, yakni di ketinggian 2.590 mdpl!
Kami sampai di basecamp Dieng sekitar pukul 14.00.
Alhamdulillah, semuanya dalam keadaan sehat wal afiat tanpa kekurangan suatu
apapun. Meskipun banyak drama-drama kurang menyenangkan selama perjalanan, tapi
keindahan Prau berhasil mengobati semuanya. Semoga suatu saat bisa kembali ke
atas sana, dan tentu saja tanpa banyak drama.
Kami lalu pamit ke anggota rombongan lain buat jalan
duluan, karena kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Yogya. Sebenernya
kami dapat informasi kalau ada bus direct
dari Wonosobo ke Yogyakarta pukul sekitar 15.00, tapi udah pasti nggak kekejar.
Jadi kami terpaksa pakai opsi kendaraan lain... and it was a whole new drama!
Thanks-List:
Geng pendaki manjha: @yuanggafp & @pupujai, yang telah menemani dalam suka & duka pendakian
YOU, for reading this! :)
1 comments
Inilah cara menghemat untuk melakukan pendakian gunung !!!
BalasHapusKlik Link disini-> Share Cost atau Open Trip ?
#tapaktilasadventure
#tapaktilasadventurecianjur