Makassar 3 Hari [Ep. 02]: Solo-Trip to Bantimurung

April 22, 2016

Sabtu, 26 Maret, saya baru bangun tidur sekitar pukul 08.00 pagi, pasca kelelahan yang melanda sehari sebelumnya. Hari itu saya berencana untuk mengunjungi salah satu destinasi wisata yang terkenal di Sulawesi Selatan, yaitu Taman Nasional Bantimurung. Sayang, waktu itu @denny_harrani masih masuk kerja, jadi saya terpaksa berangkat sendiri. Tapi untungnya, sebelum berangkat ke Makassar, saya sempet riset dulu tentang transportasi menuju tempat tersebut.



Sekitar pukul 09.00 saya udah siap, dan sebelum berangkat, saya ngisi perut dulu di warung deket kosan @denny_harrani. Saya sarapan dengan salah satu makanan khas Makassar, yaitu Palu Basa. Palu Basa ini sebenernya mirip Coto Makassar, tapi warnanya lebih hitam/pekat. Dia disajikan bersama nasi dan telur bebek rebus. Waktu itu harganya kalo nggak salah Rp14.000,00. Sembari makan, saya ngobrol-ngobrol sama Bapak penjualnya. Beliau orangnya ramah dan menyenangkan banget. Dengan logat Makassarnya yang begitu kental (secara orang asli sana), jadinya seru gitu. Saya juga sempet nanya-nanya transportasi menuju Bantimurung dan ternyata petunjuk dari Bapak itu sama persis dengan apa yang saya dapat dari internet.

Setelah kenyang, saya pamitan ke Bapak penjual Palu Basa dan mulai berjalan ke jalan raya. Untuk menuju Bantimurung, kita bisa naik pete-pete (istilah orang Makassar untuk menyebut angkot) menuju Terminal Daya. Ongkosnya Rp5.000,00. Cari yang di angkotnya bener-bener ada tulisan “Terminal Daya”-nya ya, atau tanya aja sama pengemudinya. Perjalanan dari tempat saya (RS Awalbros) menuju Terminal Daya memakan waktu sekitar 30 menit. Sesampainya di Terminal Daya, kita harus ganti pete-pete dengan tujuan PangKep alias Pangkajene Kepulauan atau Maros (mereka searah). Kalo bingung, bilang aja sama orang-orang di sana kalo kita mau ke Bantimurung, insyaAllah pasti dibantuin. Perjalanan menuju Maros waktu itu memakan waktu sekitar 1 jam, sempet macet gara-gara ada proyek pembangunan jalan. Sesampainya di Maros, kita turun di Pasar Maros, dan berganti lagi pete-pete menuju Bantimurung. Di sana udah banyak pete-pete yang ngetem. Oiya, ongkos dari Terminal Daya ke Pasar Maros seinget saya waktu itu Rp8.000,00. Perjalanan lalu dilanjutkan dengan pete-pete sampai ke pintu masuk Bantimurung. Sepanjang jalan, kita akan dimanjakan dengan pemandangan pegunungan karst. Karena letaknya yang agak mlipir dari pusat kota, view menuju Bantimurung ini jadi lebih seger. Udaranya juga udah nggak terlalu panas. Sesampainya di pintu gerbang Bantimurung, kita bisa minta ke abang pengemudinya buat diantar sampai ke tempat beli tiket. Jarak dari pintu gerbang ke ticket booth lumayan jauh, sekitar 700-an meter. Ongkos dari Pasar Maros sampai ke Bantimurung adalah Rp7.000,00.

Pete-pete di luar Terminal Daya

Gerbang Bantimurung (kita akan disambut dengan patung kupu-kupu raksasa & monyet duduk)
(via triptrus.com)

Ticket Booth

Kemudian, di sanalah saya... Taman Nasional Bantimurung,

The Butterfly Sanctuary

The Kingdom of Butterflies! J


Wah, pemandangan di Bantimurung itu bener-bener cantik! Banyak pohon tinggi, dengan dikelilingi tebing-tebing tinggi pegunungan karst. Kawasan Bantimurung sendiri merupakan bagian dari Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung yang luas totalnya mencapai sekitar 43.000 Ha. Dan yang menjadi daya tarik utama dari kawasan Bantimurung, tentu saja adalah ... kupu-kupu! J Ya, di sana memang banyak sekali terdapat spesies kupu-kupu. Bahkan jenis kupu-kupu langka yang endemik/hanya ada di Sulawesi Selatan. Namun selain habitat kupu-kupu, di tempat ini juga ada spot menarik lain, yakni air terjun, danau, serta gua-gua.

Saya sampai di sana sekitar pukul 11.00, dan waktu itu turun hujan rintik-rintik. Tapi hal itu tidak menyurutkan semangat saya! J Setelah membayar tiket seharga (kalo nggak salah) Rp25.000,00, saya mulai berkeliling. Di dekat pintu masuk, kita bisa menemukan Musholla, Information/Tourist Centre, serta Museum Kupu-Kupu. Saya simpan dulu Museum untuk nanti. Saya langsung bergerak lebih dalam.

Pertama, saya menemukan Kolam Jamala. Konon, kolam ini adalah tempat mandi bidadari (dikenal juga dengan Telaga Bidadari) dengan air yang terus memancar sepanjang tahun dan dipercaya berkhasiat untuk kesehatan. Sayang, karena masih musim hujan, air kolamnya jadi butek.

Kolam Jamala

Berjalan sedikit lagi, kita akan menemukan tempat pemandian umum dimana kita bisa main air bareng anak-anak dan keluarga. Saya sih waktu itu cuman liat-liat aja, karena emang ngga ada niat buat berenang.

Area pemandian

Lanjut jalan, kita akan sampai di salah satu spot utama di dalam kawasan Bantimurung ini, yaitu Air Terjun! Tapi lagi-lagi, karena masih musim hujan, airnya jadi agak kecoklatan dan debit airnya deres banget. Kalo lagi nggak terlalu deres, kayaknya kita bisa main-main air di bawahnya. Dan kalo mau mengabadikan momen, di sana juga ada tukang foto keliling.


The infamous Bantimurung waterfall

Puas menikmati air terjun , saya bergerak ke atas, menaiki anak tangga menuju spot menarik lain, yakni Gua Batu dan Danau Kassi Kebo. Kita akan berjalan di jalan setapak yang sudah disediakan. Kita akan disuguhi dengan pemandangan tepian sungai, hutan, serta tebing-tebing karst. Dan kalo beruntung, sesekali akan ada kupu-kupu aneka warna dan ukuran yang berseliweran. Setelah menyusuri track sepanjang kira-kira 1 km, kita akan menemui sebuah danau yang (kalau nggak musim hujan) akan berwarna sangat cantik, yakni biru-kehijauan. Danau itu bernama Kassi Kebo.

Papan penunjuk jalan


Track menuju Gua Batu & Danau Kassi Kebo

Tempat ini adalah tempat yang sangat cocok untuk mengamati kupu-kupu. Di tepian danau tersebut, kita akan menemukan banyak kupu-kupu yang beterbangan, maupun yang sedang berdiam di tanah. Waktu itu juga saya sempet menjumpai, beberapa spesies kupu-kupu yang lagi nongkrong di pinggiran danau. Tapi karena musim hujan, jumlahnya memang tidak terlalu banyak dan warna air danau yang biasanya biru-kehijauan jadi kecoklatan.

Danau Kassi Kebo

Meninggalkan Danau Kassi Kebo, saya menanjak sedikit lagi menuju spot berikutnya, yaitu Gua Batu. Untuk memasuki gua ini, kita akan ditawarin (dan agak sedikit dipaksa) buat nyewa senter sekaligus pemandunya. Saya lupa biayanya berapa. Tapi untungnya, setelah riset di internet, saya udah siap-siap bawa senter, hehehe... Jadinya saya bisa keliling sendiri ke dalem gua. Agak serem juga ya, jalan sendirian di dalam gua yang super gelap. Saya sendiri sebenernya takut gelap. Tapi alhamdulillah, setelah beberapa meter berjalan, saya ketemu dengan pegunjung lain yang tampaknya mereka didampingi oleh pemandu. Jadi, jadilah saya ikut-ikutan nimbrung dan curi-curi denger penjelasan guide-nya. Gua Batu ini sebenernya nggak terlalu besar. Ada dua ‘ruangan’ utama yang dipisahkan dengan celah kecil yang untuk melewatinya kita harus nunduk. Di ruangan yang lebih dalem, kita bisa menemukan semacam tempat penampungan air yang katanya dulu dipakai sebagai tempat mandi raja siapaa gitu.

Gua Batu

Dari Gua Batu, saya kembali berjalan menyusuri track menuju arah Musholla. Kalo nggak salah waktu itu udah pukul 13.00. Setelah menunaikan Sholat Dhuhur dan makan siang, saya melanjutkan perjalanan menuju spot lain yang tidak kalah menarik, yakni Gua Mimpi. Untuk menyusuri gua ini, mau nggak mau kayaknya kita butuh guide. Kalo tulisannya sih biaya guidenya seikhlasnya, tapi rata-rata mereka mematok harga sekitar Rp100.000,00-Rp150.000,00. Tapi yah yaudah deh, udah jauh-jauh ke sana, sayang kalo nggak sekalian masuk ke guanya.

Sebelum sampai di mulut gua, kita musti trekking dulu naik turun tangga kurang lebih sekitar 20-30 menitan. Lumayan bikin ngos-ngosan juga. Apalagi saya yang udah jarang olahraga. Di tambah dengan guide saya yang masih sangat muda, jadi jalannya cepet banget. Saran aja, Anda kalau ke sini pilih guidenya yang udah berumur aja biar agak santai jalannya. Kami lalu sampai di mulut gua, dan udara di sini terasa agak lebih dingin dan sangat lembab.

Gua Mimpi

Di dalam gua pastinya gelap banget, which I dont really like it. Sebenernya di dalam sana ada semacam track/papan titian yang terbuat dari kayu. Tapi karena kondisinya yang udah super parah rusaknya, terpaksa sesekali kita jalan di lantai gua. Kita musti hati-hati jalan di dalam sini karena super licin. Di sepanjang jalan, kita akan ditemani dengan stalagtit dan stalagmit berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang bentuknya kayak tangan, muka bayi, keris, dll. Beberapa bahkan ada yang tampak berkilauan kalau kena cahaya senter.

Panjang gua ini sekitar 800-an meter. Saya sendiri udah nggak sabar pengen keluar dari sana, karena udah nggak tahan sama gelap dan lembabnya. Untuk menuju pintu keluar gua pun nggak mudah. Kita musti naik tanjakan tanah dan papan kayu. Alhasil, baju & celana jadi kotor semua. Ujuang Gua Mimpi ini ternyata ada di luar area Taman Bantimurung. Kita perlu berjalan menyusuri turunan-turunan yang curam dan licin. Terlebih waktu itu sedang musim hujan. Kita lalu akan memasuki sebuah desa (lupa namanya) dan berjalan sedikit lagi menuju tiket booth Taman Bantimurung. Kalau ditemani guide, kita nggak akan ditanya tiket lagi. Fyuh. What an adventure! Saya lalu mutusin buat istirahat sembari bersih-bersih dan Sholat Ashar.

Sebelum pulang, saya sempatkan mengunjungi Museum Kupu-kupu. Dengan tiket masuk sebesar Rp5.000,00, kita bisa melihat koleksi awetan kupu-kupu di dalam sana. Sayang ya cuman awetan, padahal kupu-kupunya cantik-cantik. Dan beberapa didatangkan langsung dari luar negeri. Dan di sana juga, saya akhirnya bisa melihat langsung salah satu spesies kupu-kupu favorit saya semasa sekolah, yakni Kupu-kupu Morpho asal Brasil. Saya pertama kali melihat gambar kupu-kupu tersebut di ensiklopedi di perpustakaan sekolah, dan langsung jatuh cinta dengan kecantikan sayapnya yang berwarna biru-metalik. Di sebelah museum, kita bisa melihat juga tempat penangkaran kupu-kupu. Namun sayang , kondisinya sudah memprihatinkan. Kayak nggak keurus gitu. Dari dua kandang, cuman satu yang masih “ada isinya”.

Museum Kupu-Kupu

Koleksi Kupu-Kupu (sayang udah awetan)

Penangkaran Kupu-kupu

Sekitar pukul 16.00, saya memutuskan untuk mengakhiri petualangan saya di Bantimurung. Saya terpaksa jalan kaki dari ticket booth sampai ke pintu gerbang gara-gara nggak ada angkot lewat, dan ngga ada yang bisa ditebengin. :D Waktu itu hujan juga masih turun rintik-rintik. Tapi untungnya, pas di pinggir jalan raya, saya langsung nemu pete-pete yang ke arah Pasar Maros. Dan saya kembali bergonta-ganti pete-pete seperti saat berangkat tadi. Sempet ketiduran juga di dalem pete-pete gara-gara kecapekan, heheheh...

Saya sampai di kosan lagi sekitar pukul 17.00. Habis mandi dan istirahat sebentar, malemnya saya hang out lagi sama anak-anak (@denny_harrani & @wildanrivaldhie). :D Pertama pengennya makan malem di daerah Losari, tapi gara-gara rame dan masih hujan juga, kami pindah lokasi ke Popsa. Sesampainya di Popsa, ternyata tempat juga ruame poll, sampe nggak kebagian kursi. Seperti yang saya bilang sebelumnya, Popsa ini tempatnya enak buat kongkow plus malem minggu itu ada live music-nya. Setelah lama ditunggu-tunggu, nggak ada juga pengunjung yang beranjak. Akhirnya, kami pindah ke tempat lain. Satu cafe gitu yang menu utamanya seafood. Saya lupa nama cafenya apa. Tapi yang jelas, kayakya waktu itu kami salah pilih lokasi. Yang ada di cafe itu om-om semua dengan iringan lagu-lagu oldies yang sebagian besar saya nggak ngerti. Setelah kenyang, kami akhirnya pindah tempat lagi dan memilih untuk menutup malam minggu itu dengan berkaraoke ria di HappyPuppy. Sampai lewat tengah malam. :D 


NaraHubung:
Balai Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung
Jln. Poros Maros-Bone Km.12, Bantimurung, Maros, Sulawesi Selatan
Telp.: 62-411-3880252, Fax.: 62-411-3880139
Email: tn.babul@gmail.com



Thanks-List:
Orang-orang baik yang saya temui di jalan, untuk semua bantuannya
YOU, for reading this! :)

You Might Also Like

0 comments

Diberdayakan oleh Blogger.