Memburu Semeru [Ep. 03]: Drama 3676

Mei 30, 2016

Jum’at, 6 Mei, pukul 22.00. Saya terbangun dari tidur yang tak lelap . Selain karena dingin yang begitu menusuk, suasana di luar ruame banget sama suara pendaki-pendaki lain. Ada yang ngerumpi, teriak-teriak, nyanyi-nyanyi, nyetel musik kenceng-kenceng (-_-) Ini orang-orang nggak pada capek apa?

Puncak Semeru


Sesuai rencana (tapi akhirnya ngaret juga), kami berangkat summit attack menjelang tengah malam. Dengan perhitungan bahwa kondisi di atas akan sangat ramai dan kemungkinan akan ‘macet’. Kesepakatan awal berangkat pukul 22.00 akhirnya mundur sampai sekitar pukul 23.30. Ya biasalah masih pada istirahat, ditambah dengan persiapan yang benar-benar harus matang. Baik dari pakaian yang kita kenakan, maupun dari barang bawaan kita.

Kondisi di atas sudah pasti sangat sangat dingin. Dan hipotermia adalah ancaman yang nyata. Apalagi saya sendiri termasuk orang yang ‘kekurangan lemak’, hehhe... Akhirnya, waktu itu saya pakai baju empat rangkap! Base layer-nya saya pakai kaos jersey berbahan polyester yang berfungsi untuk menyerap keringat. Layer kedua pakai kaos katun lengan pendek. Layer ketiga pakai kaos protektor lengan panjang. Dan lapisan paling luar, saya pakai jaket windstoper. Untuk celana, saya pakai dua rangkap (tiga rangkap kalau celana dalem diitung juga). Lapisan pertama saya pakai sweatpants/training, dan lapisan luarnya saya pakai celana quickdry. Saya juga pakai kaos kaki rangkap dua. Tak lupa memakai kupluk, buff, & sarung tangan. Hasilnya, lumayan anget. Dinginnya dini hari tak terlalu menusuk tulang.

Untuk barang bawaan, saya cuman gendong tas selempang kecil. Isinya air sebotol tupperw4re kira-kira 600ml, jas hujan disposable bekas kehujanan, roti, permen lolipop, sama senter. Kami memang disuruh bawa air minimal buat diri sendiri. Karena selain biar nggak berat, kemungkinan kita akan terpisah dalam perjalanan itu ... sangat besar!

Dikasih tau begitu sebenernya bikin saya tambah grogi. Bahkan sampai sesaat sebelum berangkat saya masih belum 100% yakin bakalan ‘bisa’ atau nggak. Di tim kami sendiri, ada seorang temen yang nggak ikut karena cedera pasca jatuh saat ngambil air ke Sumbermani. Tapi yah berbekal kenekatan dan kepercayaan, saya pun memutuskan untuk tetap berangkat. Dan agar selamat sampai tujuan (wherever it is), dan selamat sampai kembali turun, kami pun berdoa.
And then, there we go, on our way ... to the peak of Mt. Semeru!

Kami berjalan beriringan membelah Kalimati. Para pendaki lain pun banyak yang mulai berangkat. Sambil melangkah, saya terus menguatkan niat dan mental, karena saya yakin jalanan di depan akan jauh lebih berat dari yang sebelumnya. Setelah melewati dataran Kalimati, kita akan melalui jalan setapak yang cukup sempit. Kami harus sangat berhati-hati karena selain jalannya yang terjal, kondisinya juga licin pasca diguyur hujan semalam.

Di beberapa tempat yang agak lapang, kami beristirahat sejenak untuk mengatur napas dan minum secukupnya. Kami diwanti-wanti sama sang leader untuk tidak minum terlalu banyak, karena selain untuk menghemat logistik, minum terlalu banyak juga katanya nggak baik untuk tubuh kita yang saat itu metabolismenya sedang tinggi. Cukup seteguk dua teguk aja yang penting bisa basahin kerongkongan. Dan jangan sampai kita terlena istirahat terlalu lama, karena bisa bikin badan tambah kedinginan dan bisa-bisa kena hipotermia.

Kami terus melangkahkan kaki-kaki kecil kami, menapaki jengkal demi jengkal tanah Semeru. Kadang ada pikiran-pikiran negatif mampir di kepala saya. Apa saya bener-bener kuat atau enggak. Saya sendiri udah nggak ngerti posisi kami dimana waktu itu. Sudah seberapa jauh dan seberapa tinggi kami berjalan. Kami sempet ngelewatin beberapa batu/prasasti/nisan or whatever yang ada tulisan-tulisannya, tapi nggak kebaca karena gelap. Saya sampai nanya temen: “Ini kita masih jalan ke pos, apa udah langsung ke puncak sih?” Dan beberapa saat kemudian, pertanyaan saya terjawab dengan bergantinya pijakan kami yang semula tanah biasa, kini menjadi pasir berbatu. Kami sampai di batas vegetasi. Dan disinilah drama pendakian kami dimulai...

Medan pendakian

Kami berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga rombongan kami agar tetap utuh. Tapi pada akhirnya, di satu titik, kelompok kami pun terpecah. Awalnya jadi dua. Satu di depan, lainnya di belakang. Saya sendiri (entah dengan kekuatan apa) bisa keep up sama kelompok depan. Dan karena sangat amat padatnya pendaki waktu itu, kami terpisah makin jauh dan nggak ketemu lagi sama rombongan yang di belakang.

Setelah beberapa waktu kemudian kami berjalan, kelompok depan pun akhirnya terpecah lagi entah jadi berapa. Ada yang jalan sendiri-sendiri. Sementara saya, berusaha untuk jangan sampai jalan sendirian! Dan yang saya tahu, tinggalah saya berdua sama sang leader, mas Firman. Entah kami ada di urutan ke berapa waktu itu. Ada temen yang udah jalan duluan di depan. Sesekali kami ketemu, terus pisah lagi.

Menurut saya pribadi, perjalanan ke puncak itu emang bener-bener berat. Saya mungkin nggak punya fisik sekuat temen-temen yang lain, yang udah sering naik-turun gunung. Saya juga jarang olahraga, dan persiapan mendaki waktu sangat abal-abal, wkwkwk... Satu-satunya modal yang saya punya waktu itu cuman ... niat. Diiiringi dengan doa. Saya menyaksikan sendiri gimana waktu itu, dari ratusan orang yang berjajar mendaki, satu per satu mulai mrothol. Mulai ‘rontok’. Beberapa orang ada yang memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya, dan beranjak turun. “Iki durung separuhe mas! (Ini belum setengahnya, mas),” kata salah seorang pendaki. Beberapa lainnya ada yang beristirahat di pinggir jalur, sampai ada yang ketiduran kayaknya.

Saat itu, kita sebenernya bisa melihat dengan jelas lengkungan puncak Semeru. Kelihatan begitu dekat. Tapi kenyataannya, berjam-jam saya berjalan, nggak sampai-sampai juga. Rasanya nggak ada kemajuan. Pendakian pun makin bertambah berat dengan medan pasir berbatu. Bener kata orang-orang, lima langkah kami naik, tiga langkah kami turun. Seakan-akan pasir itu nggak membiarkan kami buat sampai ke puncak (cieh). Belum lagi, kami harus waspada dengan batu-batu yang berjatuhan.

Saya terus di”seret” sama mas Firman. And I was trying so hard to keep up with him. Kami mengambil jalan yang agak menepi dari jalur utama, jadi nggak terhalang sama antrian pendaki lain. Mas Firman dengan gesitnya membuat jalur zig-zag buat saya biar lebih mudah nanjak. Kami juga harus hati-hati agar tidak memijak batu yang rentan longsor. Beberapa kali saya sempet kepeleset dan akan sangat tidak lucu kalau saya sampai menggelinding ke bawah! Untung saya bawa trek-pole (yang sangat membantu) waktu itu. Tapi bodohnya saya, udah pinjem gaiter tapi ketinggalan di tenda, jadinya saya harus beberapa kali berhenti buat ngeluarin kerikil dari sepatu.

Medan pendakian

Kami terus melanjutkan perjalanan. Tanpa terasa, langit yang tadinya pekat perlahan berubah menjadi kebiruan. Matahari pagi pun mulai menampakkan wajahnya. Ahh, kami mungkin melewatkan kesempatan menikmati sunrise di puncak Semeru, tapi menyaksikan pemandangan yang luar biasa indah itu dari punggung Semeru benar-benar pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.

Di momen itu, saya akhirnya bisa melihat keadaan sekitar dengan jelas, dan ternyata saya udah ada di tempat yang tinggiii banget. Saya bisa melihat pendaki-pendaki lain yang juga sedang berjuang naik. Beberapa puluh meter menuju puncak itu, saya akhirnya terpisah sama sang leader dan bener-bener jalan sen di ri an. Dan menurut saya, trek yang paling adalah justru pas mendekati puncak. Tanah yang kami pijak makin lama makin mendongak. Makin menegak, menunjukkan kegagahannya.

It was really really hard. Kecepatan saya mendaki turun drastis. Jadi lebih sering berhenti dan mengambil napas. Belum lagi air minum di botol saya tinggal beberapa teguk lagi. Dan waktu itu, sempet ada pendaki lain yang minta air gara-gara punya dia dibawa temennya. Karna nggak tega, akhirnya saya kasih juga. Mudah-mudah sih temen saya yang lain ada yang bersisa airnya.

Tujuh jam sudah saya berjalan, menempuh perjalanan yang begitu menguras fisik dan mental (cieh). Alhamdulillah, sekitar pukul 06.30, hari Sabtu 7 Mei 2016, saya berhasil menjejakkan kaki-kaki kecil saya di puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa, puncak gunung ‘PERTAMA’ saya, 3.676 meter di atas permukaan laut, Puncak Mahameru!

Speechless 

With the team


"Maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah"
(Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)        


...Bersambung ke Episode 4, End

You Might Also Like

0 comments

Diberdayakan oleh Blogger.