Tak lengkap rasanya bila sudah mengunjungi Candi Prambanan, tapi tidak mampir juga
ke "saudaranya": Candi Borobudur. Maka
di hari kedua solo trip saya ke Yogya ini, saya meluncur ke Magelang untuk mengunjungi salah satu
warisan budaya dunia tersebut.
And here’s where the
story begins...
Saya selalu ingin berkunjung ke Yogyakarta, since like..
forever. Tempat ini kan jadi destinasi wisata yang wajib ya bagi seluruh
rakyat Indonesia. And it’s pretty
embarassing karena saya belum pernah sama sekali kesana, sementara semua
anggota keluarga saya udah pernah. Tapi alhamdulillah,
akhirnya kesempatan itu datang jua, meskipun saya ngga merencanakannya sama
sekali!
And here where the story begins..
Perjalanan kami mendaki Gunung
Tambora masih berlanjut. Di hari kedua ini, kami berencana untuk jalan
sampai Pos 3, dan keesokan harinya
ke Pos 4, Pos 5, dan summit attack!
So here where our
story continues...
Tambora...
Begitu mendengar namanya, kita pasti langsung teringat
dengan erupsi dahsyatnya dua ratus tahun silam. Letusan yang terdengar
hingga 2.000
km jauhnya tersebut memotong ketinggian Gunung Tambora hingga tersisa sepertiganya (awal ±4000 m, kini 2.851 m). Letusan tersebut turut memusnahkan tiga kerajaan di Pulau Sumbawa, memakan ratusan ribu korban jiwa, serta mengubah iklim dunia sehingga dikenal dengan "Tahun Tanpa Musim Panas".
Letusan Gunung Tambora merupakan salah satu letusan terdahsyat yang pernah tercatat, dengan Indeks Letusan/Volcanic Explosivity Index (VEI) 7—setara 800 megaton TNT, lebih tinggi dari letusan Gunung Krakatau yang memiliki VEI-6. Letusan ini menyebabkan gelombang tsunami sampai ke Pulau Jawa, Kepulauan Maluku, dan menciptakan sebuah danau di Pulau Satonda (±30 km barat laut Tambora).
Sementara di belahan bumi lain, selain bencana kelaparan, efek beragam muncul akibat meletusnya Gunung Tambora. Mulai dari penemuan sepeda (karena banyaknya kuda yang mati), kemudian tercetusnya migrasi dan pergerakan anti-perbudakan di Amerika, lalu lukisan-lukisan pada waktu itu yang gambar mataharinya tampak lebih oranye (karena tertutup debu), hingga menginspirasi terciptanya novel horor "Frankenstein" karya Mary Shelley, puisi "Darkness" oleh Lord Byron, dan bibit-bibit cerita Drakula dan Vampire setelahnya.
Sementara di belahan bumi lain, selain bencana kelaparan, efek beragam muncul akibat meletusnya Gunung Tambora. Mulai dari penemuan sepeda (karena banyaknya kuda yang mati), kemudian tercetusnya migrasi dan pergerakan anti-perbudakan di Amerika, lalu lukisan-lukisan pada waktu itu yang gambar mataharinya tampak lebih oranye (karena tertutup debu), hingga menginspirasi terciptanya novel horor "Frankenstein" karya Mary Shelley, puisi "Darkness" oleh Lord Byron, dan bibit-bibit cerita Drakula dan Vampire setelahnya.
Kisah-kisah mengenai Tambora inlah yang akhirnya memantik
hasrat saya untuk—paling tidak— menapaki jejak-jejak keagungan gunung tersebut. Dan jujur,
di perjalanan kali ini, untuk pertama kalinya saya benar-benar merasakan apa yang dinamakan “mendaki”.
And here where our
story begins...
Diberdayakan oleh Blogger.