#SoloTripYogya [Ep. 02]: Borobudur, AADC, & Resto Kece
Desember 31, 2017
Tak lengkap rasanya bila sudah mengunjungi Candi Prambanan, tapi tidak mampir juga
ke "saudaranya": Candi Borobudur. Maka
di hari kedua solo trip saya ke Yogya ini, saya meluncur ke Magelang untuk mengunjungi salah satu
warisan budaya dunia tersebut.
And here’s where the
story begins...
Kamis, 30 November
2017
Sekitar pukul 06.30, saya memacu motor meninggalkan kota Yogyakarta menuju Magelang, Jawa Tengah.
Kali ini, saya sendirian saja karena sudah berpisah arah dengan @zira_93. Jadi
selama seharian ini, foto-foto yang ada sebagian besar adalah foto objek. Tanpa
ada saya di dalamnya. Hiks.
Yogya pagi itu
sudah lumayan ramai. Untuk keluar gang penginapan saja, saya harus
meliuk-liukkan motor menghindari warga dan barang-barang dagangan di pasar.
Anak-anak kecil pun memenuhi jalan untuk berangkat ke sekolah. Hmm, sungguh
menyenangkan rasanya di saat orang lain sedang sibuk sekolah/bekerja, saya bisa
liburan sendiri.
Perjalanan menuju Borobudur,
dari penginapan saya, kata GoogleMaps sekitar 1 jam 34 menit
(48 km). Kali ini saya benar-benar berhati-hati dalam menentukan arah sebab
saya tak ingin lagi kejadian semalam terulang. Tapi untunglah, rute menuju Magelang tidak terlalu banyak
percabangan. It was pretty
straightforward. Dan overall, it was
an enjoyable ride. Kondisi jalannya cukup baik, tanpa banyak lubang, dan
cuaca juga mendung-mendung cerah, sehingga tidak panas.
Saya tiba di Borobudur sekitar pukul 07.30, and I was so excited karena tampaknya belum
terlalu ramai pengunjung. Tapi satu hal ya, saya agak bingung cari parkiran
motor karena sepertinya ngga ada tempat parkir yang official. Entah saya yang ngga nemu atau gimana. Pas tanya ke security-nya, saya disuruh parkir di
seberang pintu masuk. Ada kayak parkiran motor gitu yang dikelola warga. Jadi
yah, saya parkir disana.
Saya bergerak menuju loket penjualan tiket, dan sudah
terpampang nyata di sana harga tiket masuk Borobudur
untuk dewasa adalah sebesar Rp40.000,- dan anak-anak (di bawah 10 tahun)
Rp20.000,-. Tiket sudah ditangan, dan saatnya kita masuk! Namun, untuk menuju
candinya, kita masih harus berjalan kaki melewati taman-taman serta menaiki
anak tangga.
And welcome to
Borobudur temple...
Tak ada kata lain yang terujar, selain W-O-W! Akhirnya,
setelah 25 tahun, saya bisa menyaksikan secara langsung salah satu mahakarya
warisan dunia ini. Norak si ya, tapi ya emang baru pertama kali ke sini sih. Hhe.
Stand tall
Candi Borobudur
ini berdiri gagah di atas sebuah bukit berketinggian ±265 mdpl, dengan diapit dua
pasang gunung kembar: Sindoro-Sumbing di barat laut dan Merbabu-Merapi di timur laut. Sementara di utara, terdapat bukit Tidar, dan di selatan terdapat
perbukitan Menoreh. Selain itu,
candi ini juga terletak di dekat pertemuan dua sungai, yakni sungai Progo dan Elo. Menurut cerita, daerah yang dikenal dengan sebutan Dataran Kedu ini merupakan tempat suci
dan dijuluki sebagai “Taman Jawa” karena keindahan serta kesuburan tanahnya.
Ada sebuah hipotesis menarik yang menyatakan kalau dulu, Dataran Kedu ini merupakan sebuah danau
luas dan Borobudur merepresentasikan tanaman teratai yang mengapung di atasnya.
Tapi ya masih menjadi perdebatan hangat di kalangan arkeologis.
Candi Borobudur
dibangun dengan pola rumit yang melambangkan kosmos atau alam semesta kehidupan manusia, dengan luas bangunan
15.129 m²
yang terdiri dari 55.000 m³ batu sejumlah ±2 juta potongan dan total berat ±1,3
juta ton. Batu-batuan ini dipotong menurut ukuran tertentu dan disatukan tanpa
menggunakan semen, melainkan dengan sistem interlock
(saling kunci). Jadi kayak kita bikin bongkar pasang/lego.
Bangunan candi berbentuk punden berundak dengan 10 tingkatan
(9 teras), yang melambangkan tahapan kehidupan manusia dalam ajaran Buddha. Enam teras terbawah
berbentuk persegi, sementara tiga teras di atasnya berbentuk lingkaran.
Tingkatan ini dibagi menjadi tiga bagian, yakni Kamadhatu yang melambangkan bahwa kehidupan manusia masih terikat
nafsu (kama), kemudian Rupadhatu yang melambangkan kehidupan
manusia yang bebas dari hawa nafsu tetapi masih terikat dengan bentuk dan rupa.
Digambarkan dengan patung-patung yang diletakkan terbuka di relung terbuka.
Dan bagian terakhir, yakni Arupadhatu yang melambangkan bahwa manusia telah terbebas dari
nafsu, bentuk, dan rupa, tetapi belum mencapai nirwana. Digambarkan dengan
patung-patung yang diletakkan di dalam “sangkar” stupa berlubang-lubang,
menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud.
Bagian paling atas yang merupakan stupa tertinggi dan
terbesar melambangkan nirwana, tempat Buddha bersemayam. Digambarkan dengan stupa
polos tanpa lubang, menunjukkan ketiadaan wujud yang sempurna. Stupa tersebut
dibiarkan kosong tanpa patung di dalamnya, diduga bermakna kebijaksanaan
tertinggi, yaitu kesunyian dan ketiadaan sempurna. Mungkin inilah yang dimaksud
oleh Biksu Tong Sam Cong dengan “Kosong adalah isi. Isi adalah kosong”, hehe.. *cmiiw
Dinding-dinding Candi
Borobudur dihiasi dengan relief yang sangat detail dan indah. Cukup lama
saya menikmati gambar-gambar yang terpahat dengan apik di sepanjang dinding.
Terdapat 1.460 frame relief yang
menceritakan berbagai figur seperti manusia, tumbuhan, hewan, bangunan, alat
trasnportasi, sikap tubuh, dan kegiatan sehari-hari, serta menceritakan
bermacam-macam kisah seperti Ramayana
dan perjalanan Siddharta Gautama.
Relief-relief ini dibaca searah jarum jam dan senantiasa dimulai dari pintu
sisi timur.
Tak hanya sebagai sebuah situs, Borobudur juga merupakan sebuah
kitab yang merekam berbagai macam aspek kehidupan, terutama masyarakat Jawa kuno.
Puas menikmati keindahan candi, saya bergerak ke area
sekitar dan di sini, ada beberapa spot
yang bisa kita kunjungi, seperti Museum
Kapal Samudraraksa dan Museum
Arkeologi. Berhubung udah siang dan cuaca panas skale, saya cuman sempat
mampir di Museum Arkeologi. Tiket
masuknya gratis aja kok.
Begitu masuk museum, kita akan tiba di pendopo yang berisi
alat-alat musik tradisional, dan di sekeliling bangunan ini, terdapat potongan
batu-batu candi yang tidak bisa ditentukan letak aslinya saat proses pemugaran.
Jadinya disimpen aja di museum tersebut.
Di dalam museum sendiri, berisi informasi-informasi mengenai
penemuan candi, hingga teknis pemugarannya. Juga artefak-artefak yang ditemukan
di sekitar candi. Sayangnya ngga boleh foto-foto di dalam museum ini twips.
Lanjut ke destinasi berikutnya~
Nah, mumpung lagi
di Borobudur, sekalian saja saya mampir ke salah satu dua tempat yang
belakangan semakin hitz kerana menjadi setting
film Ada Apa Dengan Cinta 2.
Tempat pertama yakni Punthuk
Setumbu. Jaraknya tidak jauh dari Borobudur, hanya sekitar 5 km atau 15
menit berkendara. Punthuk Setumbu sendiri adalah sebuah bukit yang digunakan
wisatawan untuk menikmati panorama matahari terbit dan keindahan perbukitan di
sekitarnya, seperti Bukit Cemuris, Cething, Setompo, dan Menoreh.
Dari atas sini juga, kita bisa melihat pemandangan Candi Borobudur dari ketinggian.
Sayang, waktu itu udah siang, jadi saya belum bisa menikmati keindahan sunrise dan kabut pagi yang konon
katanya membuat kita serasa di kahyangan.
Untuk masuk ke sini, kita dikenakan biaya Rp15.000,- dan
perlu berjalan kaki selama ±15 menit untuk menuju puncak gemilang
cahaya. Pas saya kesana, lagi ada pekerjaan untuk memperbaiki jalan setapak,
jadi enak lah nanti udah ada tangga-tangga dari semen. Dan juga pas di atas,
udah dibangun panggung dan gazebo-gazebo untuk menikmati sunrise. Untuk nak
kanak kekinian pun juga disediakan spot-spot untuk berfoto ria.
Sebenernya agak gimana gitu ya, saya jadi agak risih
sekarang ini segala tempat wisata dibangun background-background
buat foto, kayak papan-papan berbentuk hati lah, kursi-kursi manja lah, dsb.
Jadi kayak “ngotor-ngotorin” tempat yang udah indah gitu ngga sih twips (?)
Anyway, dari atas
Punthuk Setumbu ini juga, kita bisa melihat sebuah bangunan yang bentuknya mirip
dengan ‘ayam’, dengan mahkota di atasnya. And
yes, kesanalah saya akan pergi berikutnya~
Yang dilingkarin
Orang-orangnya mengenalnya dengan sebutan Gereja Ayam. Padahal sebenernya
bangunan tersebut bukan “Gereja”, dan bukan “Ayam” lho.
Perjalanan menuju Gereja Ayam memakan waktu kurang lebih 5
menit saja naik motor, tapi untuk ke bangunannya sendiri masih harus jalan kaki
kurang lebih 15 menit. Agak jauh dan menanjak, dan agak serem juga karena harus
melewati jembatan bambu yang tampak rapuh serta hutan-hutan bambu. Mana saya
sendirian lagi kan. Duh. Sebenernya dari Punthuk Setumbu ada jalan tembusan
yang langsung menuju Gereja Ayam (kata si bapak-bapak tukang) tapi kok ya
jalannya keliatan serem jadi saya lewat jalur yang biasa aja.
Gereja Ayam ini
dibangun oleh Daniel Alamsjah, seorang pegawai swasta asal Jakarta yang pada
tahun 1988 silam ketika sedang berwisata di area Borobudur, mendapat ilham
untuk membangun sebuah rumah doa di atas bukit yang kini dikenal dengan Bukit Rhema itu.
Bangunan ini tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai
gereja, akan tetapi sebagai tempat berdoa untuk semua bangsa dan semua agama.
Maka dari itu, di dalam bangunan ini terdapat ruang-ruang untuk berdoa sendiri
maupun berkelompok, ada musholla, ada termpat berdoa umat kristiani, dll.
Bangunan
ini juga sempat digunakan sebagai tempat rehabilitasi bagi anak-anak difabel,
gangguan jiwa, ketergantungan narkoba, dan remaja-remaja yang bermasalah.
Pembangunan tempat ini dimulai pada 1992, kemudian pada 1996
sempat terhenti karena krisis moneter. Lalu pada tahun 2000 ditutup karena
protes warga, dan pada tahun 2014 kembali dibuka sebagai destinasi wisata.
Satu lagi, ternyata bangunan ini bukan berbentuk “Ayam” ya
permisah, melainkan berbentuk “Burung Merpati”, yang merupakan lambang
perdamaian dan kekudusan.
Harga masuk tempat ini sebesar Rp15.000,- dan itu udah free
snack singkong keju. Asik khan. Kita bisa menikmati snack nya di sebuah “cafe” yang ada di lantai dua Gereja Ayam. Dari cafe ini juga, pemandangannya cantik lho. Apalagi waktu itu lagi
mendung, sesekali gerimis, sehingga menambah kesyahduan.
Dan kalau kita memanjat sampai ke tingkat paling atas, kita
bisa menikmati pemandangan 360° dari mahkota si “Merpati”. Tapi ya
harus gantian karena space-nya sangat sempit sementara orang-orang pada rebutan
mau ke atas, dan yang di atas pun ngga turun-turun. Hft.
View from the crown
Buk, gantian napah
Mendung di langit Magelang sudah semakin tebal, jadi
sepertinya sudah saatnya saya balik ke Yogya. Daripada kehujanan lagi ya. Saya
pun memacu motor kembali ke jalan raya Magelang-Yogyakarta. Namun di
tengah-tengah perjalanan, saya sempatkan untuk mampir sebentar di Candi Mendut, yang kebetulan searah
balik. Tapi ngga sempet masuk karena keburu gerimis.
Dan for your info
nih twips, Candi Mendut ini dibangun
dalam satu garis lurus dengan Candi
Borobudur dan Candi Pawon.
Diduga, ada semacam koneksi religius khusus di antara ketiga candi ini,
meskipun ritual tepatnya belum diketahui.
Saya lalu melanjutkan perjalanan kembali menuju Yogyakarta.
Langit di atas sepertinya sedang galaw kerana semenit gerimis semenit engga.
Kujadi lelah bongkar pasang jas hujan. Tapi alhamdulillah, hujannya tidak
sederas air mataku saat ditinggal kawin hujan semalam sebelumnya.
Nah, selain tempat
wisatanya yang kece-kece, Yogyakarta juga menjadi surga bagi para penikmat kuliner, ya kan gaes? Banyak makanan dan
resto-resto unik yang bisa kita dikunjungin di sini.
Kebetulan, waktu itu belom
makan siang, dan saya sedang nyasar di tengah-tengah jalanan kota Yogya yang
memusingkan. Ternyata eh ternyata, pas liat di GoogleMaps, posisi saya waktu
itu ada di dekat salah satu resto yang cukup terkenal di Yogya, namanya The House of Raminten. Pernah denger
dong ya? Jadi, saya sekalian lah mampir ke sana. Pengen tau kek mana sih
dalemnya.
Dari luar nuansa tradisionalnya sudah sangat terasa ya. Dan
pengunjungnya luar biasah ramai. Mungkin karena pas waktunya makan siang ya
(tapi udah mau Ashar sih sebenernya). Ketika masuk, kita akan ditanyain sama
mas-mas yang jaga: “Berapa orang?” “Sendiri aja mas,” jawabku pelan dan
tersipu malu. Dan mas-nya pun langsung mempersilakan saya masuk. Kayaknya kalau
kita bawa rombongan banyak harus ngantri dulu, saking ramainya.
Yang menarik, di resto ini semua pegawainya pakai baju
tradisional Jawa. Mas-masnya pake bawahan jarik batik, rompi, dan blangkon,
sementara mba-mbanya pakai bawahan jarik dan kemben. Kalau kita mau pesen,
tinggal panggil mas/mbaknya, terus dicatat sama mas/mbaknya, dan kita langsung
bayar. Jadi kita ngga bayar di kasir, tapi ke pelayan yang ngelayanin kita, dan
mereka kemana-mana selain bawa menu & alat tulis, mereka bawa uang juga
buat kembalian.
Untuk makannya sendiri memang mayoritas masakan rumahan ya.
Saya waktu itu pesen Ayam Koteka, Es Buah Raminten, sama Puding Jawa. Kalau
soal rasa, menurut saya sih enak ya, but
not that special. Enak aja. Dan harganya juga ngga terlalu mahal. Masih
terjangkau lah.
Yang spesial ya, suasananya ya. Tradisional, tapi masih ada touch of modernity-nya. Agak funky-funky
gitu. Cocok tuk kongkow-kongkow bersama kawan dan keluarga. Ditemani dengan
iringan musik Jawa. Tapi yang saya agak ngga suka itu, bau kemenyan/dupa-nya.
Lama-lama bikin pusing.
Nama “Raminten” sendiri diambil dari tokoh yang diperankan
oleh si pendiri restoran, bapak Hamzah Sulaeman, sewaktu beliau bermain dalam
ketoprak komedi berjudul “Pengkolan”. Unik ya pemirsa.
Selain The House of
Raminten, malam harinya saya juga mengunjungi salah satu tempat makan lain
yang juga terkenal di Yogya, dan kebetulan dekat dari penginapan, nama
tempatnya Warung Bu Ageng.
Tau Butet Kertaradjasa kan? Nah, Warung Bu Ageng ini
punyanya beliau lho twips. Nama "Bu Ageng" sendiri terinspirasi dari istria
beliau, ibu Rulyani Isfihana, yang katanya sering dipanggil “Bu Ageng” sama cucu-cucunya.
Restorannya sendiri masih bernuansa tradisional, tapi simple, asri, dan homy sekali. Deretan meja kursi yang tersusun rapih layaknya rumah
makan pada umumnya. Dihiasi taman-taman kecil di tepi-tepi, serta pajangan
dinding berupa foto tokoh-tokoh Indonesia.
Waktu itu saya pesen Nasi Campur Ayam Bakar Suwiran. Dan
rasanya... enak banget!
Jadi isinya ada nasi (of
course), ayam suwir, ikan asin, sambel goreng kentang, sambal Kutai, dan
yang paling favorit, ada kerupuk gendar (kerupuk nasi/karak). Ini enak asli
gendarnya. Dan harganya juga lumayan lah, seporsi nasi campur itu Rp26.000,-
kalau ngga salah.
Nah, dengan berakhirnya makan malam di Warung Bu Ageng,
berakhir pula perjalanan saya di hari kedua solo-trip di Yogya. Esok hari
adalah hari terakhir, dan masih bingung, mau main ke pantai, atau mau keliling
kota aja ya (?)
So, stay tune
NaraHubung:
Candi Borobudur
Jl. Badrawati, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah
Telp.: 0293788266, (024) 86462345
Email: borobudur@borobudurpark.co.id
Website: borobudurpark.com
Punthuk Setumbu
Jl.Borobudur Ngadiharjo KM3, Kurahan, Karangrejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 56553
Telp.: 08128281901
Gereja Ayam (Bukit Rhema)
Gombong, Kembanglimus, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 56553
Telp.: 082330035288
Candi Mendut
Jalan Magelang, Sumberrejo, Mendut, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah 56501
Jl. Badrawati, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah
Telp.: 0293788266, (024) 86462345
Email: borobudur@borobudurpark.co.id
Website: borobudurpark.com
Punthuk Setumbu
Jl.Borobudur Ngadiharjo KM3, Kurahan, Karangrejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 56553
Telp.: 08128281901
Gereja Ayam (Bukit Rhema)
Gombong, Kembanglimus, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 56553
Telp.: 082330035288
Candi Mendut
Jalan Magelang, Sumberrejo, Mendut, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah 56501
Telp.: (0293) 788564
The House of Raminten
Jl. FM. Noto No. 7, Kotabaru, Yogyakarta
Telp.: (0274) 547315
Email: ramintenhouse@ yahoo.com
Warung Bu Ageng
Jl. Tirtodipuran No. 13, Mantrirejon, Yogyakarta, 55143
Telp.: (0274) 387191, 087780004888
Email: Bu.Ageng@yahoo.com
Email: Bu.Ageng@yahoo.com
Thanks-List:
wikipedia.org, for the info
YOU, for reading this! :)
0 comments